Page 34 - PPK Berbasis Budaya-final
P. 34
Relevansi Sejarah dalam Penguatan Pendidikan Karakter
tidak boleh bersikap hitam putih. Sejarah tetap harus mendasarkan
diri pada fakta kejadian. “Kalau pendidikan moral harus berbicara
benar-salah, dan sastra tergantung dari imajinasi pengarang,
maka sejarah harus berbicara dengan fakta“ (Kuntowijoyo, 1995,
20).
Sejak lama manusia berjuang untuk memahami siapa dirinya
dalam relasinya dengan orang lain dan masyarakat di sekitarnya.
Kemampuan manusia membedakan mana yang baik dan buruk
melalui pertimbangan akal budi melahirkan perasaan etis dalam
memahami sejarah. Sejarah tidak dapat bermakna bagi manusia
bila manusia tidak memiliki tanggungjawab moral dalam
mengingat sejarah di masa lalu. Tahap etis mengajak peserta didik
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dari sebuah
peristiwa sejarah, atau apa dimensi moral sebuah pemahaman
dan penafsiran kita tentang peristiwa sejarah. Pada tahap etis ini,
peserta didik di Sekolah Menengah Pertama bisa memokuskan
dirinya dalam perspektif ini.
Ketiga, tahap kritis. Pada tahap ini, peserta didik mulai melihat
peristiwa dan narasi sejarah dengan sikap kritis, mempertanyakan
dan mencari dasar dan bukti pernyataan sejarah dengan informasi
yang ada. Peserta didik juga mulai melihat persoalan sejarah
dari banyak perspektif, baik itu dari perspektif individual para
pelaku dan saksi sejarah, maupun perspektif sosial politik yang
melingkupi setiap peristiwa bersejarah di masa lalu. “Seorang
yang belajar sejarah tidak akan berpikir monokausal, pikiran yang
menyatakan bahwa sebab terjadinya peristiwa itu hanya satu”
(Kuntowijoyo, 1995).
Pada tahap kritis ini peserta didik perlu memahami bagaimana
perspektif penulis sejarah di masa lampau memahami peristiwa
sejarah yang mereka alami, namun juga mereka mengembangan
33