Page 152 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 152
Pengayaan Materi Sejarah
dan mengadakan pemantapan ke dalam, berubahlah sikap tersebut.
Secara resmi, pemerintah Republik tidak dapat melakukan protes
terhadap hal itu, karena Pasal 4 dalam Persetujuan Linggajati dengan
jelas menentukan bahwa daerah-daerah yang meliputi Negara
Indonesia Serikat yang akan datang adalah Jawa dan Sumatra yang
berada di bawah kekuasaan de facto Republik, Kalimantan, dan
Indonesia Timur.
Namun, pasca Agresi Militer I yakni saat Van Mook
mendirikan negara-negara bagian yang kecil di daerah-daerah Jawa
dan Sumatra, yang berada di bawah kekuasaan de facto Republik,
maka Republik berhak melakukan protes keras, termasuk kepada DK
PBB. Pembentukan negara-negara bagian kecil lebih mempertajam
sikap Republik terhadap federalisme. Langkah-langkah Van Mook
sama sekali tidak dapat dibenarkan dan menganggapnya sebagai
suatu usaha untuk mengepung Republik dengan pembentukan
negara-negara bagian kecil ini yang dikepalai oleh orang-orang yang
bermusuhan terhadap Republik. Selanjutnya, federalisme mendapat
sorotan sebagai cermin politik pemerintah kolonial. 34
Pemerintah Hindia Belanda melalui Letnan Gubernur
Jenderal Van Mook mengupayakan untuk membentuk
ketatanegaraan baru. Hal ini ditujukan sebagai uapaya agar Belanda
tetap berkuasa di Nusantara. Van Mook bersama penasihat politiknya
berusaha terus untuk memperkecil posisi Republik, ketika itu
kekuatan politik dan TNI telah berakar di Pulau Jawa, Madura,
sebagian besar Sumatra, dan beberapa wilayah di Indonesia. Meski,
Kekuatan kebangsaan dan Republik dapat dilihat dari upaya PM
Sutan Sjahrir, yang beberapa kali bertemu dengan Van Mook untuk
meminta Belanda mengakui kedaulatan Republik atas semua
wilayah Hindia Belanda, tanpa kecuali.
2.1.5. Perbedaan Pandangan Belanda dan IndonesiaTerhadap
Federalisme
Persetujuan Linggajati yang telah menjadi penanda lahirnya
azas ferderalisme, tidak berarti dalam tataran pelaksanannya
kemudian berjalan dengan lancar. Padahal, semula Persetujuan
Linggajati dimaksudkan sebagai panduan untuk perundingan-
perundingan berikutnya ke arah membangun suatu tatanan politik di
140