Page 147 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 147
Pada satu pihak akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (NIS)
dengan sebagai peserta terpenting yakni RI; di lain pihak NIS hendak
digabungkan dalam sebuah Uni (gabungan) dengan negeri Belanda,
Suriname dan Curacao (Kerajaan Belanda). Keberatan pihak Indonesia
terutama ditujukan kepada Ratu sebagai kepala Uni. Dalam hal ini, Uni
akan memiliki peralatan-peralatan sendiri untuk memperhatikan
kepentingan-kepentingan bersama yang dibentuk oleh pemerintah-
pemerintah dari NIS dan kerajaan, namun mengapa Mahkota harus
menjadi kepala? Seketika itu, Sjahrir memperingatkan bahwa hal ini
bagi pihak Indonesia akan diartikan suatu lanjutan dari hubungan lama
antara kedua bangsa dan akan merugikan prinsip-prinsip persamaan
antar peserta dalam Uni.
Dari pihak Belanda hal itu merupakan suatu “keharusan”. Pidato
Ratu yang terkenal pada masa peperangan, yakni pada 7 Desember
1942 mengumumkan hubungan baru antara kedua bangsa, maupun
UU tentang pembentukan Komisi Jenderal bertitik tolak dari hal ini.
Juga, dalam Statuta Uni Belanda-Indonesia sebagaimana diatur dalam
Perjanjian Linggajati, perbedaan antara pada satu pihak Raja
Konstitusional di negeri Belanda dan pada lain pihak Raja atas kekuatan
Statuta belum memperoleh suatu uraian yeng tetap. Dengan latar
belakang ini pulalah orang harus melihat perubahan dari usul semula.
Sebagai pengganti “Raja adalah Kepala Uni terdapat: Yang mengepalai
Uni adalah Raja”. Perumusan ini memberi lebih banyak ruang bagi
wewenang-wewenang kepala Uni.
Rapat selanjutnya dilangsungkan pada 4 November 1946 di
Rijswijk dengan Sjahrir sebagai ketua. Sjahrir meminta agar
pembicaraan fokus pada naskah-naskah yang telah diserahkan oleh
ke dua pihak. Namun demikian, masalah Uni Indonesia-Belanda
menjadi ganjalan, karena delegasi RI sama sekali menolak lembaga
seperti itu. Keesokan harinya diadakan pertemuan tidak resmi antara
Schermerhorn dan Sjahrir untuk membicarakan jalan buntu yang
terjadi dalam rapat sehari sebelumnya. Ketika itu, Schermerhorn
mengusulkan untuk mengikutsertakan Sukarno dan Mohamad Hatta
dalam perundingan. Namun, kedua pemimpin RI tersebut jelas tidak
mungkin datang di Jakarta sebagai daerah pendudukan Belanda dan
delegasi Belanda juga tidak mungkin datang ke Yogyakarta. Sjahrir
pun kemudian mengusulkan untuk menyelenggarakan pertemuan
dengan Sukarno dan Mohamad Hatta diadakan di Cirebon.
135