Page 243 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 243
ini berakhir pada tahun 1961 dengan menyerahnya para pemimpin
mereka.
3.9. Kembali ke UUD 1945
Pada masa pemerintahan Kabinet Juanda dilaksanakan sidang-
sidang Konstituante. Lembaga tersebut terdiri dari 544 anggota
mewakili 34 partai, golongan, dan aliran. Tanggal 20 November 1956
lembaga pembuat UUD ini mulai bersidang untuk menyusun dan
menetapkan UUD RI. Dalam sidang Konstituante timbul perbedaan
mengenai dasar negara yang akan dituangkan dalam undang-undang
dasar pengganti UUDS. Lembaga yang sudah bekerja sejak November
1956 hingga April 1959 belum berhasil menyusun UUD yang baru. Oleh
karena itu dalam pidato di depan sidang Konstituante tanggal 22 April
1959 Presiden Sukarno menyampaikan amanat kepada Konstituante
yang memuat anjuran Kepala Negara dan pemerintah agar dalam
rangka pelaksanaan demokrasi terpimpin Konstituante menetapkan
kembali UUD 1945 menjadi UUD RI yang tetap. Amanat presiden itu
diperdebatkan dalam suatu pemandangan umum pada sidang
Konstituante yang berlangsung dari tanggal 25 April 1959 sampai
tanggal 13 Mei 1959. Sebanyak 57 anggota menjadi pembicara
(Wilopo, 1976: 54).
Pemandangan umum itu dijawab oleh pemerintah pada tanggal
21 Mei 1959. Pemandangan umum babak penegasan berlangsung
tanggal 25 dan 26 Mei 1959. Jawaban pemerintah diberikan esok
harinya tanggal 27 Mei 1959. Partai-partai yang duduk dalam
Konstituante mengelompokkan diri dalam dua golongan yang berhadap-
hadapan, yaitu kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non-
Islam. Untuk menghindari terjadinya ketegangan, atas usul ketua
sebaiknya Konstituante mengadakan reses. Waktu reses itu akan
digunakan oleh pimpinan Konstituante untuk bertukar fikiran dengan
pemerintah. Sementara itu berbagai fraksi berturut-turut menyatakan
tidak akan menghadiri sidang lagi. Tukar fikiran dengan pemerintah
dilangsungkan tanggal 27 Juni 1959. Pada kesempatan itu pemerintah
menegaskan bahwa anjuran untuk kembali ke UUD 1945 adalah gagasan
presiden, oleh karenanya sukar bagi pemerintah untuk menentukan
langkah-langkah kelanjutan tanpa bermusyawarah lebih dahulu dengan
kepala Negara yang pada saat itu berada di Jepang (Wilopo, 1976: 54)..
231