Page 27 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 27

pedesaan,  bagi  Prof.  Sartono  sangat  penting,  ketika  ia  harus
                menerangkan   ―bagaimana   ―(   how)   dan   ―mengapa‖   (   why)      suatu
                peristiwa  –  yang  berkisah  tentang  ―Siapa  (who)  melakukan  apa  (  what)
                di mana (where) dan bila  (when).

                        Kecenderungan akademis ini bisa dipahami juga karena Sartono
                telah lebih dulu mementingkan usaha pemahaman tentang struktur dan
                proses sejarah masyarakat desa – masyarakat yang biasanya berada di
                luar  perhatian  sejarawan,  yang  biasa  sekali  terpukau  dengan  berbagai
                corak aktivitas dan dinamika politik . Hanya saja seketika sosiologi atau
                ilmu sosial lainnya telah ikut bermain dalam usaha rekonstruksi sejarah
                dan dalam usaha memberikan keterangan (explanationi) sejarah, maka
                ketika  itu  pula  pancingan  bagi  terjadinya  pergumulan  teori  tidak
                selamanya bisa terhindarkan.
                        Dalam suasana akademis inilah jumlah sarjana dan pascasarjana
                tamatan universitas dalam negeri bertambah banyak. Bahkan jumlah
                M.A.  dan  Ph.D.  hasil  pendidikan  luar  negeri  pun  menaik    pula.
                Meskipun  perhatian  dan  studi  tentang  masa  lalu  wilayah  Jawa  masih
                dominan, tetapi tidak lagi menjadi pemegang monopoli perhatian para
                sejarawan.  Hanya  saja  perhatian  para  calon  doktor  sejarah  lebih
                banyak tertuju pada masyarakat desa atau kota kecil. Menjelang akhir
                abad  ke-20  jumlah  Dr/Ph.D.  sejarah  sudah  mencapai  sekian  puluh
                orang—lebih  dari  50%  dari  mereka  adalah  hasil  universitas  Amerika
                                                                                    2
                Serikat,  Australia,  Belanda  dan  satu-dua  dari    Jerman    dan    Prancis.
                Sejak awal tahun 1970-an bukan saja jumlah sejarawan yang  memegang
                gelar  akademis  tertinggi  telah  bertambah,  hubungan  akademis  yang
                bersifat internasional pun mulai semakin intensif pula.
                        Pada  tahun  1972  beberapa  orang  sejarawan  menghadiri
                konferensi  IAHA  (International  Association  of  Historians  of  Asia)  di
                Manila. Ketika itulah Indonesia dipilih—bahkan diminta--secara aklamasi
                untuk  menjadi  tuan  rumah  konferensi  IAHA  berikutnya  dan  Prof.
                Sartono  pun  secara  otomatis  dipilih  sebagai  Presiden  IAHA.  Didukung
                oleh  LIPI  ,  maka  UGM  pun  tampil  sebagai  tuan  rumah  konferensi
                reguler  International  Association  of  Historians  of  Asia  (1975)  ini.
                Konferensi internasional, yang dihadiri oleh para sejarawan dari U.S.A,
                Belanda, Rusia, Inggris sampai dengan beberapa negara Asia ini, dibuka
                secara  resmi  oleh  Wakil  Presiden  R.I.,  Sri  Sultan  Hamengkubono  IX.
                Sedangkan mantan Wakil Presiden, Bung Hatta, tampil sebagai




                                                                                   1
                                                                                   5
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32