Page 100 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 100
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
seperti ini condong dilestarikan, tanpa adanya suatu usaha untuk melihat dari
dalam (view from within) kelompok Tionghoa itu sendiri.
Dari dahulu golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai “perantara”
ataupun “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa
kolonial. Sejak zaman pra-kolonial orang Tionghoa sudah bekerja pada raja-raja
kerajaan maritim, misalnya sebagai syahbandar. Sultan Hamengku Buwono I
menugaskan orang Tionghoa untuk menarik pajak demi mengisi kas Kasultanan
Yogyakarta yang baru saja didirikannya. 5 Kolonial Belanda yang memiliki
keterbatasan sumber daya manusia, melihat bahwa Tionghoa bisa menjadi
“perantara” mereka dengan golongan pribumi. Maka Belanda menjual berbagai
macam pacht (hak pengelolaan) bagi jalan tol, candu, rumah gadai, kepada
pengusaha Tionghoa. Para pengusaha tersebut berani membeli pacht dengan
harga tinggi, karena mereka tahu bahwa keuntungan yang didapatkan akan
berlipat ganda. Dengan dukungan penguasa, para pachter tersebut memeras
rakyat dan menjadi sangat kaya karenanya. Akhirnya golongan Tionghoa
diposisikan menjadi minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup
mapan, namun secara politis dibenci oleh rakyat.
Golongan Tionghoa sebagai "minoritas perantara" yang berada di tengah.
Sumber: Java Critic, 10 Desember 1948, h. 10
Kedudukan sebagai perantara inilah yang memang diinginkan oleh penguasa,
yakni Tionghoa sebagai “perisai” atau “kambing hitam”, yang diposisikan di tengah,
disaat terjadi konflik menentang penguasa atau saat terjadi kevakuman
91