Page 99 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 99
DINAMIKA DALAM KEBERAGAMAN:
JEPANG, ETNIK TIONGHOA DAN PRIBUMI (1942-1945)
berbasis etnik, yang diatur menurut garis rasial. Statement resmi pemerintah
Jepang tadi terkesan pongah dan menganggap enteng isu keberagaman di tengah
masyarakat yang terpecah-pecah ke dalam berbagai golongan yang didasarkan atas
garis rasial dan warna kulit. Dalam perkembangannya, selama kurun waktu singkat
tiga setengah tahun masa kekuasaannya, Tentara ke XVI Jepang melakukan
"eksperimen" atas isu keberagaman di Jawa.
Tulisan ini mencoba melihat bagaimana kebijakan Jepang terhadap
keberagaman di Jawa, dalam hal ini studi kasus etnik Tionghoa, yang merupakan
elemen terbesar dari lapisan tengah ("Timur Asing") dan secara historis berposisi
sebagai minoritas perantara di tengah-tengah masyarakat kolonial. Penulis
mencoba melihat apa yang dilakukan Jepang ini dalam konteks panjang kebijakan
divide et impera kolonial Belanda sejak awal abad XX yang mengkotak-kotakkan
berbagai elemen masyarakat. Mengapa etnik Tionghoa sulit diterima kelompok
mayoritas Pribumi dan begitupun sebaliknya. Bagaimana Jepang mengelola
segregasi made in colonial ini, dan apa solusi yang mereka coba lakukan?
Bagaimana hasil "eksperimen" ala Nippon tadi? Apakah ia mampu meng-counter
kebijakan rezim sebelumnya, atau justru, karena tidak ada pilihan lain, melanjutkan,
atau bahkan memperkuat sekat-sekat rasial yang sudah ada? Sebagai penutup,
penulis mencoba mengevaluasi dampak kebijakan Jepang itu pada periode awal
revolusi fisik, khususnya pada relasi antara minoritas Tionghoa vis a vis golongan
Pribumi, yang kini bukan lagi kaula jajahan, namun sudah memiliki
pemerintahannya sendiri.
Golongan Tionghoa Sebagai “Manusia Dagang” dan "Minoritas Perantara"
Historiografi nasionalistik Indonesia memberikan stigma atas golongan Tionghoa
sebagai “binatang ekonomi” yang oportunistis, tidak memiliki loyalitas politik dan
3
2
hanya memikirkan diri sendiri. Pluralitas di kalangan etnis Tionghoa pun banyak
diabaikan dan mereka lebih banyak dipandang sebagai kelompok homogen
berlabel: “WNI keturunan Cina”.
Sejarawan Twang Peck-yang berpendapat bahwa berbagai kajian atas etnik
Tionghoa lebih banyak dilakukan dari sudut pandang politik, tanpa mencoba
memahami karakter dasar mereka sebagai “manusia dagang” (pinyin: 商人
shāngren) dengan berbagai karakter khasnya. Maka pandangan terhadap mereka
4
akan terjebak pada bias penilaian hitam-putih: “loyal-tidak loyal”; “membaur-tidak
membaur”, “patriot-pengkhianat”. Pandangan bipolar yang streotipik seperti ini
akhirnya membawa hambatan bagi proses nation-building, karena stigmatisasi
90