Page 96 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 96
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
pula bahwa pameran ini mencatat jumlah kunjungan tertinggi, yaitu 11.000 orang dalam
sepuluh hari. Lihat A.D. Pirous, ibid., 2003, hal.5-6.
25 Lihat Asia Raja, 22 September 1944.
26 Majalah Djawa Baroe. (15 September 1944). No.18.
27 Trisno Sumardjo. (1956). Kedudukan Seni Rupa Kita dalam Zaini (ed), Almanak Seni 1957.
Jakarta: Badan Musyawarah Kebudayaan nasional. hal. 127-128. Lihat juga kecaman Chairil
Anwar dalam Aoh.K. Hadimadja, Beberapa Paham Angkatan 45, (Jakarta: Tinta mas, 1952),
hal.34.
28 M. Balfas. (1951). Seni Lukis Indonesia Baru, Majalah Kebudayaan ‘Indonesia’ No.4, TH.II
April. hal 5. Bandingkan pernyataan M. Balfas atas kepemimpinan S. Sudjojono ini dengan
keberpihakan Kusnadi terhadap Affandi. Menurut Kusnadi, “Seorang tokoh utama dari
periode pendudukan Jepang ini adalah Affandi.” Lihat Kusnadi, Seni Lukis Zaman Pendudukan
Jepang dalam Mochtar Kusuma Atmadja,dkk., Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari Pra-
Sejarah hingga Masa Kini. (1990-1991). Jakarta: Panitia Pameran KIAS. hal. 85.
29 Suromo. (Mei-Juli 1949). Timbul dan Tumbuhnya Seni Lukis Indonesia (II), Mimbar
Indonesia.
30 Basuki Abdullah. (29 April 1943). Sepatah Kata untuk Pelukis-pelukis Kita, suratkabar Asia
Raya.
31 A.D. Pirous, ibid.,
32 Di bidang kebudayaan lembaga ini dipimpin oleh Soewandhi dari Taman Siswa dan S.
Sudjojono sebagai wakil. Sumber ini diperoleh dari Imam Boechori (1966) dan S. Sudjojono
(1974) sendiri. Informasi berbeda kita temukan dalam Kusnadi (1991) dengan menyebutkan
bahwa ketua Poetera di bidang kebudayaan adalah S. Sudjojono. Jauh sebelum Kusnadi
menuliskan hal tersebut, sejarawan Amerika, Claire Holt (1967) juga menetapkan hal yang
sama: S. Sudjojono adalah ketua seksi kebudayaan. Lihat Claire Holt. (2000). Melacak Jejak
Perkembangan Seni di Indonesia, (Bandung: Seni Masyarakat Pertunjukan Indonesia. MSPI).
hal.287.
33 S. Sudjojono. (Desember 1974). Pengalaman Saya Pada zaman Jepang dan Di Zaman
Revolusi, dalam Budaja Djaja No.79, Thn.VII. hal.717.
34 Sudjojono, ibid., (1974). Sementara itu, Claire Holt (2000:285) memperkuat gambaran
tersebut. Menurutnya, “..apa yang pelukis butuhkan kemudian, sebagai kritik yang
konstruktif, adalah dorongan serta pengakuan akan potensi mereka. Dorongan ini datang
pada masa pendudukan Jepang, yang meskipun sukar, adalah masa yang paling
menggairahkan bagi para seniman. Terguncang dari kebiasaan-kebiasaan kolonial Belanda,
mereka diperlakukan dengan kelembutan serta pertimbangan oleh Jepang.”
35 Ibid. Dengan mengutip sebuah laporan di harian terbitan Belanda (“Indonesie Schilders:
Affandi”, Het Inzicht, No.29, 3 Agustus 1956), meskipun tidak menunjukkan rincian lukisan,
Claire Holt (2000:286) memperkirakan larangan Jepang terhadap lukisan Affandi disebabkan
oleh perkara romusha. Tubuh-tubuh yang kurus dalam lukisan Affandi tidak disukai oleh
pemerintahan fasis Jepang.
36 Ajip Rosidi. (1977). Pelukis S. Sudjojono, (Jakarta: Pustaka Jaya: 1977), hal.34
37 Imam Boechori, ibid., (1966), hal. 48.
38 M. Balfas, ibid., (1951), hal.5.
39 Imam, Boechori, Ibid., hal.48.
40 Sanento Yuliman. (1968). Beberapa Masalah dalam Kritik Seni Rupa Indonesia (Bandung:
Skripsi Sarjana Jurusan Seni Rupa-ITB. hal. 130.
87