Page 92 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 92
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
Terlepas dari hal tersebut, lukisan-lukisan Emiria Sunasa, Sudjojono,
Soekirno, dan Agus Djaja dalam pameran Kehidupan Djawa Baroe nyatanya
mendapat sambutan positif. Emiria Sunasa mengambil pokok patung-patung
primitif di Indonesia dan dikatakan menimbulkan “perasaan purbakala”; Sudjojono
disebut-sebut “mencapai norma-norma Indonesia”; Soekirno menyelami dimensi
wayang, menggunakan warna-warna primitif, suasana kala dan candi-candi raksasa
dari pewayangan. Agus Djaja, yang mengambil pokok-pokok dan stilasi dari patung-
patung dan relief-relief candi dipandang mampu “membangkitkan rasa ketimuran”.
Inilah, agaknya, yang dimaksud oleh Sanusi Pane ketika dia mengatakan bahwa
“langkah mereka sudah jauh kelihatannya” ke arah “lingkungan Indonesia dan
Timur”. Karya-karya para pelukis tersebut menyambungkan kembali “seni modern
Indonesia” dengan masa lalunya.
Apabila kita mengamatinya dari arah yang lain, kontribusi terbesar Jepang
terhadap seniman Indonesia adalah semakin menguatnya kesadaran berorganisasi
seni-budaya yang terstruktur; tumbuhnya kesadaran baru akan fungsi propaganda
dalam seni; dan bangkitnya pemahaman terkait eksistensi (status sosial) seni dan
seniman di tengah masyarakat. Tentu saja, warisan kesadaran berorganisasi yang
inklusif dan partisipatif itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan kultural Jepang yang
militeristik. Kenyataan ini bertolak belakang dengan kebijakan kultural pada zaman
Belanda yang seakan-akan hanya berlaku untuk kepentingan di kalangan mereka
sendiri – misalnya dengan institusi Batavia Kunstkring.
Sebagai organ militer, Keimin Bunka Shidosho telah memberikan
pengalaman berorganisasi yang konstruktif. Pengalaman ini, bagaimanapun,
menimbulkan bekas yang mendalam dan berpengaruh kuat bagi kesuburan
organisasi atau perkumpulan seniman di masa-masa selanjutnya. Misalnya, pada
20 Oktober 1945, beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuk Pusat
Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) atas inisiatif Djajengasmoro dan sejumlah pelukis.
Organisasi ini memiliki tugas propaganda: “PTPI akan berjuang dengan cat, pensil
dan kertas bersama-sama peluru dan kata-kata diplomasi mengusir sisa-sisa
46
penjajah dari Indonesia.” PTPI dikabarkan membuat banyak poster propaganda
dengan bantuan Kementerian Penerangan dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pola organisasi PTPI adalah versi lain dari Keimin Bunka Sidhosho. Sementara itu,
47
di Bandung, pada tahun yang sama, juga dibentuk Pelukis Front yang bertugas
48
mendokumentasikan peperangan. Berdirinya Seniman Indonesia Muda (SIM, 1946)
menyusul Pelukis Rakyat (1948) dan menjamurnya sanggar-sanggar maupun
organisasi seniman yang bermunculan hingga dekade 1960-an seperti Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra, berdiri 1950) dan Lembaga Seniman Budayawan
83