Page 89 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 89
MENEMUKAN IDENTITAS MELALUI PROPAGANDA
SENI RUPA INDONESIA DI ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG
Saya sendiri tahu bagaimana pandangan pelukis-pelukis Nippon
sebagai Kohno, Yasioka, Yamamoto, dan Ono yang memegang
pimpinan pada waktu itu dan bekerja bersama-sama dengan
pelukis-pelukis Indonesia terkemuka, tentang seni lukis. Mereka
tetap sehat, tak kena pengaruh ini dan itu dan tetap seniman
yang berjiwa baru. Meskipun mereka dari akademi Nippon, watak
mereka tak sempit bercorak akademi dan tetap mempunyai
pandangan merdeka. Hanya jiwa yang merdeka dan jiwa yang
31
berpengalaman luas bisa mengerti ciptaan mereka.
Belakangan pada 1974, S. Sudjojono menuliskan pengalamannya sebagai
32
wakil Poetera di bidang kebudayaan : “Kedatangan Jepang akhirnya menghentikan
aktivitas Persagi, tetapi anggotanya menyebar ke mana-mana.” Menurutnya,
33
Jepang sangat lihai memanfaatkan seni lukis sebagai alat propaganda. Benturan
keras di antara dua kepentingan (kubu Indonesia dan Jepang) mampu dinetralkan:
Pelukis-pelukis Jepang yang datang kemari sebagai militer dan
sebagai penasihat dalam bidang seni lukis, untung bukan sejenis
pelukis-pelukis “Mooi Indie”, akan tetapi pelukis yang mengerti
keindahan tiang bambu, kurungan burung atau keindahan corong
pabrik dan pekerja galangan kapal. Watak mereka terbukti
berkali-kali juga watak yang membantu aspirasi bangsa kita.
Mereka tahu sebagai seniman, bahwa tiap seniman harus punya
kebebasan untuk menolak sesuatu yang dia tidak cocok dan
bertentangan dengan rasa artistiknya. Dari itu dalam rapat-rapat
pelukis atau di PUTERA atau di Keimin Bunka Shidosho. Atau
rapar-rapat juri dalam suatu persiapan eksposisi, kalau saya
umpamanya menolak suatu ide, maka mereka tidak jarang
34
mencocokinya atau paling sedikit netral.
Pada 1943 Poetera memamerkan lukisan Affandi. Salah satu lukisannya
yang mencekam publik berjudul Tiga Pengemis. Pihak militer Jepang tidak
menyukai lukisan tersebut dan menyensornya dari ruang pameran. S. Sudjojono
menyatakan, “Keindahan yang jelek ini dianggap oleh pemerintah Jepang sebagai
hambatan jalannya mesin pembangunan Asia Timur Raya. Kita pertahankan lukisan
35
bagus ini tetapi dilarang. Kita kalah, meskipun benar.” Sementara pada masa-
masa ini S. Sudjojono sendiri menghasilkan lukisan Sayang Aku Bukan Anjing (1944)
yang memiliki makna simbolis berlapis. Selain lukisan itu, lukisan Jungkatan yang
menggambarkan wanita sedang menyisir juga dikerjakan pada masa yang sama. S.
36
Sudjojono mengakui bahwa di zaman Jepang ia tidak begitu banyak melukis.
80