Page 54 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 54
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
Perwira dan prajurit Jepang pertama-tama dan bahkan selalu adalah
seorang pejuang. Jiwa pejuang membuat orang Jepang gagah berani dan siap mati
dengan sedikit dorongan dari Kaisar maupun perwiranya. Hal inilah yang
membuatnya bertempur hanya dengan mengandalkan jiwa dan raga dan secara
sembrono menghadapi mesin perang yang mematikan. 101 Sekalipun di tahap
perang berikutnya prajurit Jepang menemukan bahwa para individu pejuang tidak
dapat mengalahkan tentara, mereka menjadi prajurit infanteri yang bertempur
dengan lihai di semua medan tempur di Asia-Pasifik. Sebegitu baiknya penampilan
prajurit infanteri Jepang, sehingga mereka diyakini sebagai ahli perang hutan yang
telah lama dilatih keras. Kenyataannya sama sekali tidaklah demikian. Prajurit
Jepang terutama dilatih di bawah cuaca dingin di wilayah luas Manchuria dan
Siberia, karena Komando Tertinggi Jepang menganggap bahwa perang darat utama
akan pecah di sana. Lebih banyak prajurit Jepang yang menderita di hutan tropis
yang lembab dibandingkan orang Amerika yang dibesarkan di wilayah panas
Amerika Serikat. Namun, karena kehidupannya sebagai petani di Jepang, para
prajurit Kaisar lebih mampu menahan penderitaan dan kehidupan keras di wilayah
102
tropis yang terkucil dan panas.
Kehidupan petani yang keras juga membuat mereka terbiasa dengan
aturan dan disiplin yang keras. Disiplin adalah prioritas utama. Selama pelatihannya,
setiap sikap yang dianggap kurang disiplin akan dihukum oleh atasannya dengan
cara dipukuli. Seperti dikatakan oleh seorang calon prajurit, “para calon prajurit
tidak diperlakukan sebagai manusia”, sementara rekannya menambahkan: ”Latihan
itu menjadikan kami sebagai manusia ternak—robot-robot yang menurut tanpa
berpikir.” Dalam militer Jepang, disiplin bersifat tajam ke bawah: para perwira
103
senior menampar perwira junior, perwira junior memukul bintara, dan seterusnya
hingga ke prajurit rendahan, yang karena tidak memiliki bawahan untuk dihukum,
sering kali melampiaskan kemurkaannya kepada para tawanan perang yang
104
malang.
Kehormatan tertinggi bagi mereka adalah mati demi Kaisar, sehingga
prajurit yang menyerah dipandang menodai dirinya sendiri maupun keluarganya,
yang akan merasa dipermalukan dan kehilangan muka sebagai akibatnya. Ada
banyak kejadian di mana pasukan Jepang yang berada dalam keadaan tanpa
harapan bertempur hingga prajurit terakhir, bahkan membunuh rekannya yang
terluka agar terhindar dari penangkapan yang memalukan. “Bertempurlah mati-
matian,” demikian prajurit Jepang diperintahkan. “Jika kau takut mati, maka kau
akan mati di medan laga. Apabila kau tidak takut mati, kau tidak akan mati. Dalam
45