Page 55 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 55
BANZAI!
OPERASI MILITER JEPANG UNTUK MENGUASAI INDONESIA
keadaan apa pun, janganlah menjadi desertir atau tawanan perang. Apabila
105
keadaanmu tidak tertolong lagi, bunuh dirilah secara terhormat.”
Begitu kuatnya rasa malu untuk menyerah yang tertanam dalam diri
prajurit Jepang sehingga hanya beberapa ribu orang yang berhasil ditawan oleh
Sekutu selama perang—kebanyakan mereka ditangkap dalam keadaan terluka atau
tidak berdaya. Pada gilirannya, orang Jepang pun memandang hina prajurit musuh
yang tertawan. Sebagai hukuman atas “kepengecutan mereka”, bukanlah hal yang
aneh kalau pasukan Jepang membunuhi tawanan Cina yang tertangkap dengan
106
berbagai cara selama Perang Cina-Jepang. Sementara itu, sekalipun di sana sini
terjadi juga banyak terjadi aksi pembantaian terhadap prajurit kulit putih selama
Perang Pasifik, perlakuan buruk terhadap tawanan Sekutu yang lazim dilakukan
oleh prajurit Jepang adalah memberikan mereka makanan yang minim, menjadikan
mereka pekerja budak, dan memperlakukan para tawanan dengan brutal.
Pada dasawarsa 1930-an, militerisme diterapkan dalam masyarakat
Jepang. Banyak sekolah mengajarkan latihan militer kepada para murid. Sebagai
contoh, sekolah-sekolah dasar mengajar anak-anak laki-laki berlatih militer dengan
senjata kayu, sementara anak yang lebih tua diajarkan menggunakan senjata asli.
“Kehormatan terbesar,” demikian yang diajarkan kepada mereka, “adalah pulang
dalam keadaan mati.” Ada juga sekolah-sekolah berbasis pendidikan militer, di
mana anak-anak dikirimkan secara langsung dari sekolah biasa pada usia 14–15
107
tahun. Perguruan tinggi juga memiliki pelatihan militer. Menurut sebuah Buku
Pegangan yang diterbitkan oleh Departemen Perang Amerika Serikat pada tahun
1944 tentang Pasukan Militer Jepang, “Di Jepang, indoktrinasi dimulai sejak
108
bayi.”
Dibandingkan dengan prajurit Eropa, rata-rata prajurit Jepang bertubuh
kecil, sekitar 155–160 cm. Sekalipun orang Jepang memiliki reputasi cepat dan
cekatan, mereka cenderung terbelakang. Namun, karena keturunan petani, mereka
109
tangguh dan bertubuh sehat, serta terbiasa bekerja keras. Latihan militer mereka
menekankan ketangguhan fisik dan seishin (tekad baja), yang dianggap dapat
mengatasi keunggulan perlengkapan perang lawan. 110 Seperti dikatakan oleh
seorang pemimpin, “Suatu angkatan perang tidaklah bergantung pada meriam dan
111
kapal melainkan terutama pada rasa patriotisme.”
Ketika Perang Pasifik pecah, rata-rata prajurit Jepang jauh lebih terlatih
dan agresif jika dibandingkan lawannya. Lebih dari itu, mereka telah memiliki
pengalaman perang di Cina. Hal ini sangat menentukan bagi petualangan militer
baru yang dimulai oleh Jepang pada tanggal 7 Desember 1941, ketika mereka
46