Page 53 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 53
BANZAI!
OPERASI MILITER JEPANG UNTUK MENGUASAI INDONESIA
keberadaan torpedo ini hingga daya hancurnya mengguncang angkatan laut Sekutu
96
pada awal Perang Pasifik.
Peralatan perang terakhir yang sangat diandalkan Jepang adalah kapal
angkut dan kapal pendarat pasukan. Kebanyakan kapal angkut merupakan kapal
barang atau penumpang sipil yang dimiliterisasikan. Karena keterbatasan kapal
transportasi, bahkan ketika armada kapal barang Jepang masih berada dalam
kekuatan penuh, para prajurit harus berdesak-desakan di atas kapal—tiga orang
dalam ruang seluas 1 x 1,8 m selama satu minggu di bawah suhu 37,7º C,
97
sementara air dijatah! Untuk mendarat di pantai, pasukan Jepang biasanya
menggunakan dua jenis perahu pendarat. Yang pertama adalah perahu pendarat
“Daihatsu” yang memiliki panjang 14,6 meter dan berbobot 10,5 knot. Perahu
berkecepatan 8 knot ini mampu membawa muatan seberat 10 ton, termasuk
98
sebuah tank kecil, truk, meriam atau prajurit. Lebih besar darinya adalah “Toku
Daihatsu”. Perahu pendarat sepanjang 17,6 meter yang berkecepatan 9 knot ini
99
mampu membawa sebuah tank menengah atau dua tank berbobot 8 ton.
Men Behind The Gun
Dalam masa perang prajurit Jepang biasanya digambarkan sebagai orang bermata
sipit, bergigi tonggos, berperut kuning, mengenakan pembalut kaki atau anak
Nippon yang selalu berteriak “banzai”. Mereka dibenci karena dianggap suka
berkhianat dan kejam. 100 Namun, mereka pun sangat ditakuti sebagai prajurit
infanteri ringan yang sangat berdisiplin, setia kepada tugasnya, dan siap bertempur
hingga titik darah penghabisan daripada menyerah. Reputasi ini sendiri merupakan
hasil dari pengaruh sosial budayanya maupun pelatihan militer.
Tidak seperti musuh dari dunia Barat, prajurit Jepang dibesarkan dalam
masyarakat yang menjunjung tinggi “Jalan Sang Pejuang” (Bushido) dan
menghormati para samurai—orang-orang yang mengabdi sebagai pendekar,
prajurit, dan polisi di bawah para shogun. Kaisar Meiji memang telah menghapus
kelas samurai, tetapi tradisi pria yang membawa senjata sebagai lambang jabatan
tidak mati. Para samurai yang telah dilucuti hak istimewanya bergabung dengan
militer Jepang, yang menanamkan tradisi disiplin dirinya yang sangat keras,
kesetiaan yang tak tergoyahkan, dan kegagahberanian. Bahkan setelah mengambil
alih nilai-nilai baru dari Eropa, nilai-nilai lama tetap mengilhami “Jalan Sang
Pejuang” dalam militer Jepang dan tradisi samurai tetap tertanam di dalam hati
mereka.
44