Page 48 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 48

HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH



                    Artileri  standar  di  tingkat  divisi  adalah  meriam  Tipe  38  kaliber  75  mm.
            Namun, senjata ini dianggap sudah usang karena hanya memiliki jangkauan 9,5 km
            dan  hanya  dapat  menembakkan  10–12  peluru  per  menit  untuk  jangka  waktu
                   63
            singkat.  Tiga meriam kaliber 75 mm lainnya dari Tipe 90, 94, dan 95 pun memiliki
            daya  jangkau  yang  terbatas.  Divisi-divisi  dan  brigade  independen  Jepang  juga
            dipersenjatai dengan meriam Tipe 91 kaliber “100 mm” (sebetulnya berkaliber 105
            mm).
                 64
                    Mortir  yang  digunakan  Jepang  memiliki  kaliber  81,  90,  dan  150  mm.
            Senjata ini digunakan di batalion mortir non-divisi.
                                                     65
                    Tank-tank Jepang boleh dikatakan sudah usang saat Perang Pasifik pecah.
            Dibuat pada pertengahan tahun 1930-an, tank-tank tersebut memiliki bobot ringan
            (Tipe  94  berbobot  15  ton  sementara  Tipe  95  hanya  10  ton)  dan  kecepatan
            maksimal  32–40  km  per  jam.  Meriam  37  mm  dan  senapan  mesin  7,7  mm  yang
            digotong  tank  Tipe  94  dan  95  pun  hanya  dapat  menghancurkan  kubu-kubu
            sementara kecepatan tembak dan daya gempurnya bukanlah tandingan bagi tank
            Sekutu.  Karena  tipisnya  lapisan  baja  kendaraan  ini,  tank  Jepang  dengan  mudah
            dapat dihabisi oleh tembakan senapan mesin berat. Akibatnya, tank Jepang tidak
            banyak  digunakan  dalam  pertempuran  dan  terutama  ditugaskan  dalam  misi
            pengintaian,  perlindungan,  perhubungan,  dan  pengiriman  perbekalan  ke  posisi-
            posisi pasukan terdepan.
                                 66
                    Tank  menengah  Tipe  97  diperlengkapi  dengan  meriam  berkaliber  lebih
            tinggi, berupa sepucuk meriam 57 mm, dan dua pucuk senapan mesin kaliber 7,7
            mm. Namun, meriam dan senapan mesinnya juga tidak efektif untuk menghadapi
            kendaraan lapis baja Sekutu. Seperti kebanyakan tank Jepang pada masa itu, Tipe
            97 menggunakan mesin diesel daripada mesin berbasis bensin, yang bukan hanya
            meningkatkan  jangkauan  jarak  tempuhnya  tetapi  mengurangi  risiko  kebakaran—
            ancaman yang sangat ditakuti oleh awak tank.
                                                  67

            2. Senjata Udara

            Jepang tidak memiliki angkatan udara terpisah. Kekuatan udara mereka merupakan
            bagian dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Selama penaklukan Hindia Belanda,
            Pasukan Udara Angkatan Lautlah—yang secara kuantitatif dan kualitas merupakan
            kekuatan  udara  Jepang  yang  paling  penting—yang  memainkan  peranan  penting
            dalam menghadapi kekuatan udara Sekutu maupun menggempur sasaran-sasaran
            militer dan strategis lawan. Dibentuk pada tahun 1912, jawatan ini memiliki sekitar
            3.000 pesawat terbang pada saat pecahnya Perang Pasifik, di mana sekitar 1.400 di


                                                39
   43   44   45   46   47   48   49   50   51   52   53