Page 75 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 75

MENEMUKAN IDENTITAS MELALUI PROPAGANDA
                       SENI RUPA INDONESIA DI ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG


                    Pada April 1943, bagian penerangan (Sendenbu) kembali mengumpulkan
            seniman-seniman  Indonesia.  Pertemuan  kali  ini  membicarakan  strategi  yang
            ampuh  untuk  meningkatkan  semangat  perjuangan.  Seniman  diharapkan  mampu
            memberikan penerangan kepada masyarakat luas. Maka, hasil penting pertemuan
            itu  adalah  pembentukan  sebuah  suatu  pusat  kebudayaan  atau  yang  blakangan
            dikenal  sebagai  Keimin  Bunka  Shidosho. Belakangan,  setelah  Poetera  dibubarkan
            Jepang pada 1 Maret 1944 , Basuki Abdullah, Affandi dan S. Sudjojono bergabung
                                  15
            ke  dalam  Keimin  Bunka  Shidosho  sebagai pendidik.  Di  sini S.  Sudjojono  kembali
                                                       16
            mengambil  peran  yang  tidak  kecil  dalam  pembentukan  corak  seniman-seniman
            muda  dengan  moto  “mencari  corak  persatuan Indonesia”  -   yang  tidak berbeda
            dengan moto Persagi sebelumnya di zaman kolonial Belanda.
                    Ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas, sepanjang kiprahnya, baik Poetera
            maupun  Keimin  Bunka  Shidosho  sama-sama  melakukan  pembinaan  seni  yang
            sangat penting bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Dari segi kuantitas, kedua
            organisasi  ini  berhasil  melahirkan  sekian  banyak  nama  baru.  Jika  dicermati  dari
            aspek kualitas, keduanya mampu menanamkan corak ketimuran sebagai identitas
            seni lukis Indonesia. Kendati demikian, pada batas-batas tertentu, antara Poetera
            dan Keimin Bunka Shidosho tetap memiliki perbedaan paham.
                    Tidak seperti Keimin Bunka Shidosho, Poetera senantiasa mengambil jarak
            dari  tema-tema  propaganda  seperti:  menanam  kapas,  kebaktian  romusha,
            semangat  perajurit,  semangat  menabung  yang  gencar  dimaklumatkan  Jepang.
            Sementara  Keimin  Bunka  Shidosho  cenderung  mengambil  sikap  politik  pada  sisi
            sebaliknya. Hal yang menarik untuk dilihat, sekalipun memiliki agenda propaganda,
            sejumlah  seniman  Jepang  yang  duduk  jajaran  pengurus  Keimin  Bunka  Shidosho
            justru  berusaha  menjaga  kemurnian  seni  agar  tidak  tersubordinasi  ke  dalam
            propaganda.  Pihak  Keimin  Bunka  Sidosho  selalu  mempertahankan  keseimbangan
            antara  ‘muatan  artistik’  dan  ‘hiburan’  dengan  ‘sloganistik’.  Dalam  praktiknya  di
            lapangan,  antar  kedua  organisasi  ini  mengalami  kesukaran  dalam  menetapkan
            batas  antara  seni  propaganda  dan  seni  untuk  seni.  Satu  hal  yang  nyata,  baik
            Poetera  dan  Keimin  Bunka  Shidosho,  keduanya  sama-sama  mengagendakan
            “propaganda”.
                    Potensi  visual  dalam  karya  seni  rupa  membuatnya  ditempatkan  sebagai
            salah  satu  instrumen  propaganda.  Namun  demikian,  di  mata  Jepang,  media
            propaganda yang paling efektif dan mudah dimengerti masyarakat umum adalah
            film,  seni  pertunjukkan,  musik  dan  kamishibai,  dibandingkan  misalnya  dengan
            tulisan pada majalah ataupun surat kabar. Propaganda melalui tulisan (sastra) dan



                                             66
   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79   80