Page 215 - BUKU PERDEBATAN PASAL 33 DALAM SIDANG AMANDEMEN UUD 1945
P. 215
Susanto Polamolo
Elnino M. Husein Mohi
PERDEBATAN PASAL 33
DALAM SIDANG AMANDEMEN UUD 1945
(F-PDIP) juga melayangkan pertanyaan kritis kepada Mubyarto
mengenai azas kekeluargaan. Disambung kemudian oleh
Amidhan dari F-PG yang meminta klarifikasi soal apakah
57
tanah diganti dengan pemilikan saham, bank, dan sebagainya. Sebetulnya sama saja. Jadi,
ini saya pikir bukan merupakan tujuan [dari]pada kemerdekaan kita. Ini mau kita rubah agar
terjadi keadilan pemerataan di antara kita bersama bangsa kita ini.
Dan yang terakhir, yang ingin kami tanyakan pada Bapak Ibu sekalian, dengan sudah disepakatinya
oleh kita, juga WTO, tentunya berbagai Pasal-Pasal undang undang peraturan tidak akan lepas
daripada perilaku Undang Undang kita. Karena kita bicara globalisasi, kita bicara interaksi
antar negara. Bagaimana kita menge-judge hal tersebut ke dalam Undang Undang Dasar
ataukah kita akan tolak, tidak akan masuk ke situ, hal ini saya pikir hal-hal maksud kami masih
perlu diperkaya buat pikiran kami sendiri yang mimilih rumusan-rumusan, sekian, terima kasih.
57 Pembicara: Amidhan (F-PG)
…Walaupun saya tidak mengatakan kalau saya awam di bidang ekonomi, saya kira sudah diketahui
itu dari saran-saran yang saya kemukakan ini, karena semuanya dalam bentuk bertanya. Tadi
Pak Pataniari mengatakan bahwa memang berbagai sistem ekonomi yang hidup, dan yang
ada didunia ini komunisme, kapitalisme, sosialisme dan sebagainya.
Pasal 33 ini menjadi pembahasan kita, karena kita tadinya berniat mau secara eksplisit memasukkan
sistem ekonomi Indonesia itu seperti apa? Itu tadinya kalau seandainya tetap seperti Pasal 33
yang ada sekarang, itu sebenarnya tidak ada masalah kenapa, karena sekarang ini kan sudah
sistem ekonomi pasar, sudah sistem kapitalisme kalau menurut hemat saya. Ternyata bisa jalan
dengan Pasal 33 itu, apakah itu karena kita menyimpang, saya tidak tahu itu.
Pertanyaan saya, kalau sistem ekonomi yang mau kita bangun ini apakah sepenuhnya pragmatisme
ataukah masih ada ruang untuk memasukkan aspek idealisme di dalamnya, aspek idealisme
bangsa di dalamnya, kalau ini yang terakhir ini saya melihat dua kutub pemikiran yang berbeda
ini masih bisa ditemukan…
Yang kedua, di sini tentang kekayaan alam ini. Kekayaan alam itu ada bumi, air, dirgantara. Memang
dulu kata dirgantara ini dikemukakan oleh Fraksi TNI/Polri waktu itu. Yang saya ingin tanyakan,
apakah dirgantara ini dengan dikaitkan dengan kata dikuasai oleh negara, apakah dikuasai
secara ekonomi atau hukum atau malah fisik? Pertanyaan saya ini begini saya pernah mendapat
keterangan kita ini memang takdir Tuhan memiliki dirgantara di atas khatulistiwa, hampa udara
di atas khatulistiwa itu bernilai ekonomi yang sangat tinggi kenapa?
Karena katanya di manapun di atas bumi ini, apa di Amerika, di Eropa, China, Rusia melepas satelit
apapun bentuknya, dia nanti akan mengumpul di udara kita itu, di hampa udara khatulistiwa
kita itu. Jadi di sana itu penuh dengan satelit dengan sampah-sampah satelit tetapi kita
sebagai bangsa tidak bisa menguasai, mau apa menyewakan tidak mungkin, wong kita
malah menyewa. Jadi, menyewakan udara itu tidak bisa, ini saya kira ini pertanyaan umum
sebenarnya Pak Hasyim Djalal ini mungkin.
Yang ketiga, Pak Bambang Sudibyo, konsep beliau ini Presiden mengelolah keuangan, kekayaan
dan hutang negara. Apa bisa hutang itu tidak masuk di dalam konstitusi. Apa ada negara
yang memang kalau dilihat konteks kekinian itu memang 140 miliar dollar hutang kita. Ya
memang kalau konteksnya kekinian hutang melulu kita ini, tetapi kalau hutang itu masuk di
dalam konstitusi itu tidak enak juga rasanya itu, sama anak cucu kita itu. Jadi, bagaimana
kalau kekayaan itu sebenarnya sudah masuk hutang itu, kekayaan itu aset aktiva dikurangi
aset pasiva saya kira begitu, itu pertanyaan saya.
Kemudian yang terakhir, ini titipan dari rekan saya Pak Afandi karena beliau tidak mau mengganggu
154

