Page 429 - BUKU PERDEBATAN PASAL 33 DALAM SIDANG AMANDEMEN UUD 1945
P. 429

Susanto Polamolo
            Elnino M. Husein Mohi
            PERDEBATAN PASAL 33
            DALAM SIDANG AMANDEMEN UUD 1945


            lama dipertahankan, dengan tambahan 2 ayat baru, juga dengan
            judul Bab yang berubah.
                  Sebuah keputusan  yang patut diapresiasi.  Walaupun
            sebetulnya  dengan  melakukan  penambahan  ini,  MPR  menuai
            banyak kritik.  Tentu tidak mudah. Ia melibatkan banyak
            pihak,  banyak  energi,  dan  tidak  sedikit  “tuduhan  miring”  yang
            mengawalnya, juga sulit menampik “kejanggalan” selama proses
            amandemen berlangsung, yang sedikit banyak telah diuraikan di
            bagian awal buku ini.
                  Pasal 33 sepertinya masih harus terus-menerus direnungkan
            kembali, dipikirkan kembali, aturan dasar politik perekonomian
            kita harus ditelaah kembali pula persis di situ. Gagasan-gagasan
            yang tersebar di dalam notulen memperlihatkan kepada kita
            akan kekayaan kritik-otokritik para politisi  yang terlibat dalam
            proses amandemen.  Tim  Ahli  yang penuh dengan komitmen
            serta prinsip atas konsep masing-masing, dalam perbedaan yang
            tajam menunjukkan ada semangat untuk memecahkan persoalan
            paling mendasar dari ekonomi kita.
                  Bangsa yang kaya akan sumber daya, bangsa yang sejak
            dulu kerap menjadi sasaran empuk para pemburu rente. Diseret-
            seret  oleh  arus  liberalisasi,  bahkan  hingga  kini:  masih  berkutat
            lepas dari cengkraman itu. Bila kita masih melihatnya demikian,
            itu berarti sejauh ini kita masih hidup dalam demokrasi borjuis
            saja, dan itu berarti penglihatan kita sama dengan penglihatan
            Bung Karno, sebagaimana dituliskannya dalam sebuah artikel di
            Fikiran Ra’jat, tahun 1932.
                  Demokrasi borjuis  yang dimaksud Bung Karno dalam
            artikelnya adalah demokrasi yang memberikan “hak memerintah”
            kepada    rakyat—melalui  Parlemen   hasil  Pemilu—tetapi
            penggunaan hak memerintah itu sebetulnya diarahkan, dikontrol



                                       368
   424   425   426   427   428   429   430   431   432   433   434