Page 50 - MAJALAH 100
P. 50
PROFIL
Bahasa Jepang, katanya sulit. “Mugkin saya termasuk
yang tidak berbakat dalam bidang bahasa,” aku
mantan dosen Universitas Pelita Harapan itu.
Informasi mendapat beasiswa ke Jepang itu
kemudian disampaikan kepada kedua orangtuanya.
Tentu keluarganya merasa senang sekaligus bangga.
Dan yang paling terlihat bahagia adalah kakeknya.
Iman sempat bergurau pada ayahnya, “Pak, saya
sekarang pergi sendirian. Nanti bapak jangan kaget ya,
kalau saya pulang bertiga. Siapa tahu saya dapat jodoh
di sana dan punya anak.”
Nasihat ibundanya selalu terngiang di telinga Iman
ke mana pun ia pergi. Dua hal penting dari nasihat
ibunya adalah, pertama, kemuliaan bukan terletak
pada harta, tapi pada ilmu dan kesahajaan. Kedua,
harus tetap bisa bertegur sapa dengan siapa pun.
Sementara nasihat dari ayah adalah bahwa ia harus
kalkulatif sebelum mengambil tindakan. Dua nasihat
Indonesia era 1980-an mengharuskan para mahasiswa
konsentrasi belajar. Kegiatan politik mahasiswa sederhana namun penting bagi jalan hidup Iman
ketika itu.
dilarang karena ada kebijakan NKK-BKK. Sang paman
pernah berkomentar kepada Iman soal kondisi Sampailah pada hari H keberangkatannya ke
kampusnya saat itu. Katanya, rugi bila para mahasiswa negeri sakura. April 1987, bersama rombongan para
tidak bisa berpolitik. Padahal di zamannya, sang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa, Iman
paman sangat bebas berpolitik. mendarat di Kota Tokyo, Jepang. Suhunya waktu itu
10º C. Suhu yang hangat buat warga Jepang, tapi
“Waduh, saya nyesel telat lahir,” ucap pria berdarah
sunda ini kepada sang paman. Kebalikannya, terlalu dingin buat orang Indonesia. Kedatangan Iman
dan kawan-kawan disambut mekarnya bunga sakura
saat terjadi gelombang reformasi di tahun 1998
oleh para mahasiswa, Iman kembali berujar pada yang indah, bunga endemik Jepang yang kebetulan
sedang bermekaran begitu anggunnya. Iman takjub
pamannya, “Saya nyesel kecepetan lahir.” Iman
tertawa mengenang dialog dangan sang paman itu. melihat kota dan masyarakat Jepang yang teratur.
Kecintaannya pada dunia politik memang tak lekang Iman dan teman-temannya ditempatkan dalam
oleh waktu. Dan selama menjadi mahasiswa di IPB, ia satu asrama. Ia langsung berkirim surat ke ayah dan
harus menahan diri berpolitik. ibunya di Tanah Air. Isi suratnya hanya bercerita soal
kekaguman atas keindahan kota Tokyo. Di minggu
Sebagai mahasiswa berprestasi, ia mulai dituntun
takdirnya menuju kesuksesan. Ketika itu Iman muda pertama mulai muncul rasa kangen pada kampung
halaman. ”Untuk menghilangkan rasa kangen, sering
sudah duduk di tingkat 2. Berawal dari informasi
teman kuliahnya bahwa ada program beasiswa ke ketemu dan ngobrol dengan teman-teman. Kebetulan
kita tinggal di suatu dirmitori, di suatu asrama. Jadi
Jepang. Pemerintah ingin mencetak banyak sumber
daya manusia IPTEK. Semua lembaga pemerintah kita sering ketemu,” tutur Iman.
di bidang IPTEK membuka kesempatan belajar ke Tahun pertama di Jepang, ia masih harus mendalami
luar negeri. Nah, saat itu yang paling dekat dekat bahasa Jepang. Selama di Jepang, Iman menempuh
IPB adalah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan studi S1 di WASEDA University pada bidang teknik
Nasional (BAKOSURTANAL) yang membuka program komunikasi dan informasi. Secara khusus ia
beasiswa. Iman dan temannya itu pun mendaftar. mempelajari image processing, yaitu pengolahan
citra satelit. Gambar yang ditangkap satelit kemudian
Setelah mengikuti tes, Iman dinyatakan lulus.
Ironisnya, teman yang memberi informasi beasiswa diolah dengan teknik komputer. Adaptasi belajar dan
bersosialisasi memang harus cepat dilakukan. Iman
malah tidak lulus. Adik perempuan dari temannya
itu yang baru lulus SMA juga dinyatakan lulus. Para mengaku banyak mendapat hal positif dari masyarakat
Jepang, baik tradisi mencari ilmu dan kehidupan
mahasiswa yang dinyatakan lulus diberi komitmen
menjadi PNS di lingkungan BAKOSURTANAL. Tiga sosialnya.
bulan pertama setalah resmi mendapat beasiswa, “Masyarakat Jepang itu masyarakat yang teratur
Iman dan adik temannya itu belajar bahasa Jepang. dan displin. Sangat berbeda dengan kita yang boleh
50 PARLEMENTARIA EDISI 100 TH. XLIII, 2013