Page 314 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 314
Land Grabbing: Bibliografi Beranotasi 289
yaitu untuk apa skenario ini terjadi? dan skenario seperti apa
yang sebenarnya terjadi? Carthy mendeiniskan sebagai
land grab
perampasan atau penjarahan tanah-tanah kelompok miskin, yang
dilakukan dengan cara-cara illegal (grasping, seizure or capture of
land in an unacceptable or illegitimate fashion at the expense of the
poor) atau kontrol jangka panjang terhadap kepemilikan tanah,
untuk memasok kebutuhan pangan dan energy (long-term control
of large landholdings to supply the food and energy needs).
Land grabbing muncul sebagai respon transformasi tenurial di
mana kondisi yang terjadi adalah perkembangan infrastruktur dan
teknologi membutuhkan beberapa prasyarat seperti sumber daya yang
bisa diekstraksi atau digunakan, peluang pasar yang memuluskan
jalan bagi praktik-praktik ekstraksi, bekerjanya kembali hukum-
hukum negara yang membuka jalan untuk memperoleh pendapatan,
dan melakukan akumulasi serta pendeinisian ulang tentang ruang.
Transformasi yang kemudian terjadi adalah pembangunan perkebunan
kolonial, pasar untuk kayu dan teknologi yang mengeksploitasi hutan,
administrasi pemerintahan berskala luas untuk proyek kolonisasi,
perusahaan minyak sawit dan kayu milik swasta, pasar untuk biofuel,
serta meningkatnya nilai komoditas pertanian dan karbon.
Skema-skema land grabbing pada kenyataannya berbenturan
dengan pemanfaatan lahan yang sudah ada, ekologi, serta perubahan
ekonomi politik. Persoalan yang kemudian muncul adalah terjadinya
banyak resistensi atau penolakan. Namun sangat disayangkan hanya
sebagian yang menyadari proses land grabbing ini. Tiga skenario land
grabbing di Indonesia yang dimunculkan dalam tulisan ini adalah proyek
sejuta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah, proyek jarak di Nusa
Tenggara Timur, dan lahan sawit. Dalam kasus sejuta hektar lahan
gambut, terkendala oleh proses sosial dan politik, di mana komoditas
produksi sangat menentukan. Banyak persoalan yang muncul seperti
ketahanan pangan, separatisme, ruwetnya peraturan tenurial lahan,
serta tumpang tindihnya perundang-undangan dan hak yang ada.
Sementara itu pola kegagalan proyek jarak di Nusa Tenggara Timur
ditengarai karena andil aktor domestik yang mengambil anggaran dan
subsidi. Sewa diasosiasikan dengan investasi. Pada skenario minyak
sawit, terjadi apa yang disebut dengan liberalisasi hukum-hukum