Page 317 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 317
292 Dwi Wulan Pujiriyani, dkk
menjadi perkebunan kelapa sawit dan kayu yang didukung dengan
wacana peningkatan ekspor non minyak dan penganekaragaman
kesempatan kerja; 5) meningkatnya harga minyak kelapa sawit dan
isu perubahan iklim telah menginspirasi kebijakan pemerintah
Indonesia untuk memproduksi biofuel di tahun 2006 dengan jarak
sebagai ‘green champion’; 6) munculnya pasar karbon yang kemudian
memunculkan investasi untuk perdagangan karbon.
Berangkat dari sejarah pengelolaan pulau-pulau terluar, penulis
memakai potret Kalimantan, Sumatera, dan NTT untuk melihat
praktik akuisisi tanah yang terjadi. Pertama, proses pengalokasian
tanah yang didorong oleh upaya untuk mencapai ketahanan
pangan dan swasembada beras. Secara historis swasembada pangan
merepresentasikan perhatian jangka panjang para pembuat kebijakan
di indonesia, dan telah memotivasi proyek nasional untuk menanam
padi di pulau-pulau terluar Indonesia. Beras menjadi makanan pokok
orang Indonesia yang memainkan peranan penting dalam upaya
negara menjamin kestabilan politis dengan kebijakan yang membatasi
ketergantungan pada pasar internasional. Persoalan krisis pangan
akan menciptakan persoalan politik yang kompleks. Sebagai solusinya,
pemerintah era Suharto menetapkan program sejuta hektar lahan padi
di Kalimantan Tengah (mega rice project). Proyek ini sekarang ditengarai
telah gagal, dan menyebabkan banyaknya lahan-lahan padi yang
terlantar, dan telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan sumber
mata pencaharian bagi ribuan orang yang berada di dalam wilayah
proyek. Pada era SBY, upaya mencapai ketahanan pangan dilakukan
melalui impor, serta pengembangan produksi pertanian di lahan yang
belum termanfaatkan (‘underutilized’/‘idle land’) di pulau-pulau luar
Indonesia. Pada tahun 2008, muncul proyek terbaru dari Papua sebagai
salah satu contoh tren negara berkembang untuk menyewakan lahan-
lahan pertanian kepada investor, untuk memperoleh keuntungan
dari meningkatnya harga pangan dunia. Akuisisi tanah dalam skema
proyek sejuta hektar lahan disebut virtual, karena dalam skema ini aktor
diizinkan untuk mengusahakan kepentingan yang lain (ekstraksi kayu)
di areal dimana produksi padi mengalami kegagalan.
Kedua, proses pengalokasian tanah yang didorong oleh
pengembangan minyak sawit untuk pasar ekspor. Dalam konteks