Page 32 - Berangkat Dari Agraria
P. 32
BAB I 9
Urgensi Pelaksanaan Reforma Agraria
dengan menggenjot pertumbuhan sektor industri. Namun, agaknya
usaha ini belum banyak membuahkan hasil. Terbukti, jumlah petani
gurem dan buruh tani gurem di negara kita setiap tahun justru terus
bertambah.
Apalagi cetak biru pembangunan industri nasional bertumpu
pada relokasi industri dari negara maju dan utang luar negeri. Tidak
mengherankan jika pembangunan industri nasional selama ini
tak berelasi dengan pembangunan pertanian dan perdesaan yang
dikembangkan.
Jebakan kemiskinan
Munculnya fenomena buruh tani dengan upah uang secara
formal mulai dikenal sejak hadirnya perkebunan dan industri gula
di Jawa, khususnya melalui kontrak gula (suiker contract). Hadirnya
industrialisasi pertanian dan perkebunan pada masa itu telah
menggenjot secara fantastis nilai dan jumlah ekspor komoditas
pertanian dan perkebunan Hindia Belanda.
Namun, pertumbuhan tersebut tak berkorelasi positif terhadap
peningkatan kesejahteraan buruh. Bahkan, pertumbuhan petani
gurem dan buruh tani terus meningkat dan menjamin ketersediaan
buruh dalam sistem industri pertanian dan perkebunan milik
penjajah (kolonial). Inilah yang menjadi salah satu dasar kesimpulan
Gertz tentang gejala involusi pertanian dan sharing of poverty pada
kehidupan petani Jawa.
Setelah kemerdekaan, dilahirkan pendekatan ekonomi politik
untuk menyejahterakan petani gurem dan buruh tani melalui UU
Pokok Agraria 1960, UU Pokok Bagi Hasil 1960, UU No 56/PRP
Tahun 1960 yang mengatur tentang pembatasan kepemilikan lahan
oleh perorangan, dan PP 224/1961 tentang Land Reform. Regulasi
ini semangatnya menyediakan tanah bagi buruh tani, petani gurem,
dan para penggarap.
Sejak Orde Baru, pendekatan ini ditinggalkan karena dianggap
memicu konflik politik, keresahan sosial, dan polarisasi di perdesaan.