Page 36 - Berangkat Dari Agraria
P. 36
BAB I 13
Urgensi Pelaksanaan Reforma Agraria
Setelah fondasi
Ada spekulasi, pergantian Kepala BPN demi kepentingan politik
pencitraan SBY. Maraknya konflik agraria membuat SBY pusing.
Protes rakyat korban konflik agraria berpotensi mendelegitimasi
kepemimpinan SBY. Seolah dibutuhkan “kambing hitam” untuk
menunjukkan bukan presiden yang salah. Dalam hal ini, Joyo Winoto
dipandang “layak” dikorbankan.
Secara politik, Winoto dianggap lemah karena ia bukan kader
partai politik. Winoto ialah pejabat pemerintah dari kalangan
profesional. Dia dosen IPB dengan kepakaran ekonomi politik.
Kemampuan akademik dan pengalaman di birokrasi pemerintahan
(Bappenas) telah membuka jalan bagi Winoto untuk berkiprah di
dalam pemerintahan SBY.
Memimpin BPN sejak 2005 hingga 2012 tentu bukanlah
pekerjaan ringan. Di tengah tumpukan “dosa” masa lalu BPN,
ketiadaan visi ideologis, kelemahan organisasi, manajemen, dan
keterbatasan anggaran serta sumber daya manusia telah diterobos
Winoto. Sejumlah karya mendasar ditorehkannya.
Masuk dan berkembangnya agenda pembaruan agraria di
dalam tubuh BPN merupakan buah kegigihan Winoto. Banyak yang
mencibir, menentang, bahkan menjegal, tapi ia terus melangkah.
Identifikasi tanah potensial untuk pembaruan agraria terus
dilakukan. Penertiban tanah telantar yang dikuasai korporasi besar
digencarkan. Sinergi dengan penyokong pembaruan agraria dirintis
Winoto. Lingkar-lingkar belajar dan praktik pembaruan agraria pun
ditumbuh-kembangkan.
Di bawah kepemimpinan Winoto, BPN meniupkan angin
segar perubahan agraria menuju keadilan. Program landreform
digencarkan melalui skema redistribusi tanah objek landreform bagi
rakyat miskin. Sertifikasi tanah murah (bahkan gratis) dilancarkan
melalui berbagai proyek yang dibiayai negara. Anggaran BPN pun
naik berkali lipat untuk menyukseskan program strategis pertanahan
dalam bingkai praksis pembaruan agraria.