Page 43 - Berangkat Dari Agraria
P. 43
20 Berangkat dari Agraria:
Dinamika Gerakan, Pengetahuan dan Kebijakan Agraria Nasional
RUU ini dinilai cacat dari proses pembentukan ataupun
aspek substansi yang dikandungnya. Substansi RUU ini membuka
potensi kerugian masyarakat juga bagi upaya melestarikan hutan.
Kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan lokal yang hidup
di hutan pun dapat dengan mudah terjadi. Di lain sisi, RUU ini
diprediksi tak akan mampu menghentikan degradasi hutan dan
tak akan berkontribusi pada pemulihan kerusakan hutan. RUU ini
bahkan berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi di
sektor kehutanan.
Padahal, isu krusial status tanah di kehutanan sebagai inti
masalah yang harusnya dituntaskan belum tersentuh. Isu penguasaan
tanah di kawasan hutan mestinya diutamakan daripada membuat
UU baru yang mengkriminalisasikan rakyat sekitar hutan.
Kini, sejumlah momentum guna membenahi kebijakan
kehutanan telah tersedia. Nota kesepakatan bersama 12 kementerian/
lembaga tentang ”Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan”, di bawah
supervisi KPK dan UKP4, perlu digenjot implementasi aksinya.
Kesepakatan baru ini jangan hanya ”baru kesepakatan”. Butuh aksi
nyata yang sistematis.
Momentum lain, uji materi UU Kehutanan di Mahkamah
Konstitusi berkenaan status tanah adat di kawasan hutan kini
dinantikan keputusannya. Revisi UU Kehutanan Nomor 41 Tahun
1999 sebagai agenda Prolegnas di DPR hendaknya segera digulirkan.
Banyak pihak mengingatkan RUU PPH ini bisa menambah
karut-marut konstruksi hukum. Jika diteruskan, bukan menjawab
permasalahan pembenahan tata kelola hutan, melainkan justru
makin mengkriminalisasi dan memosisikan rakyat sebagai pencuri.
Faktanya, sekitar 30.000 desa ada di kawasan hutan dan belum jelas
statusnya.
Menuju keadilan agraria
Selama ini perhatian pemerintah terhadap masyarakat miskin
yang hidup di sekitar hutan sangat minim. Pihak yang bergantung
secara langsung dengan hutan bukan hanya masyarakat adat,