Page 90 - Berangkat Dari Agraria
P. 90
BAB II 67
Realitas Panggung Politik Agraria
pemimpin utama, memastikan implementasi reforma agraria lebih
kuat.
Kedua, percepatan redistribusi tanah dan pemberdayaan
ekonomi masyarakat. Penyediaan tanah dari pelepasan kawasan
hutan dipercepat, termasuk di Jawa. Tanah bekas HGU perkebunan
swasta dan negara harus dipermudah. Menyimak 180 usulan lokasi
kasus konflik dan reforma agraria usulan 4 CSO, dan hasil asesmen
K-LHK dan K-ATR/BPN, dari usulan tersebut, 137 kasus/lokasi dapat
dieksekusi tahun 2021. Tipologinya, 105 konflik agraria terjadi di
dalam kawasan hutan yang domain K-LHK, dan 32 di luar kawasan
hutan domainnya K-ATR/BPN.
Ketiga, kelembagaan penyelesaian konflik agraria juga perlu
diperkuat. Perpres 86/2018 yang menyerahkan tugas penyelesaian
konflik agraria kepada struktur GTRA kabupaten/kota, lalu
provinsi, kemudian pusat dinilai tak efektif. Kemungkinan Presiden
menugaskan pejabat setingkat menteri memimpin penyelesaian
konflik agraria harus dibuka.
Selesaikan konflik
Pembentukan kelembagaan khusus yang independen
menemukan momentum. Revisi Perpres 86/2018 hendaknya
memberi cantolan hukum bagi pembentukan kelembagaan khusus
penyelesaian konflik agraria yang bertanggungjawab ke Presiden.
Jangka panjang, sejumlah pihak mengusulkan pembentukan
kelembagaan khusus itu.
Misalnya, Komnas HAM (2003) usul pembentukan Komisi
Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria dengan prinsip
transitional justice. Lalu, Komite Nasional Pembaruan Agraria (2014)
usul Unit Kerja Presiden untuk Penyelesaian Konflik Agraria sebagai
lembaga khusus di bawah Presiden. Terbaru, “Conflict Resolution
Unit” (2020) di bawah Kamar Dagang dan Industri Indonesia
memandang perlu kelembagaan independen penyelesaian konflik
agraria.