Page 176 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 176
Masalah Agraria di Indonesia
a. membayar cukai atau contingen dari hasil sawahnya
sebesar 1/5,
b. membayar cukai palawija sebesar 1/5 dari hasil sawahnya,
c. membayar cukai pohon sebagai pajak (berupa uang),
d. membayar sewa pekarangan yang didiami,
e. membayar cukai ikan dari empang dan sawah sebesar 1/5,
f. membayar pajak dari hasil penjualan rumput dan kayu
bakar sebesar 1/5 dari penjualan (uang),
g. bekerja dengan percuma (pancén) sehari dalam tiap-tiap
minggu, atau 52 hari dalam satu tahun, yang dapat diganti
dengan uang sebesar ukuran upah kerja harian. Hal ini
dinamakan uang kumpenian.
Untuk tanah partikelir di sebelah Timur Kali Cimanuk (Stbl.
1880 no. 150) tidak disebut hak-haknya penduduk di situ.
Malah hak memilih Lurah desa di daerah itu dihapuskan,
diganti dengan pengangkatan oleh tuan tanah.
Dengan pembelian tanah-tanah partikelir oleh pemerintah,
tanah yang mempunyai hubungan usaha milik bangsa In-
donesia menjadi tanah hak milik (orangnya membayar
landrente). Sedang milik orang Tionghoa menjadi tanah
eigendom, kemudian diubah lagi menjadi “altijddurende
erfpacht” (Stbl. 1913 no. 704) sekarang banyak terdapat di
daerah Tangerang. Pada waktu tahun 1926 (Stbl. 1926 no.
421) hak usaha semacam ini tidak lagi dijadikan hak
eigendom atau eeuwigdurende (altijddurende) erfpacht
seperti yang sudah-sudah, tetapi dijadikan hak baru, dengan
hak benda yang dinamakan landerijen bezitsreht.
2. Hak memetik hasil (plukrecht)
Hak ini ada pada orang-orang di daerah perkebunan kopi
Pemerintah, peninggalan zaman Cultuurstelsel dengan
155