Page 173 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 173
Mochammad Tauchid
berbeda-beda prosentasinya.
Di Priangan tidak sampai 1,4%. Kediri 14 %.
Besuki 1 %. Pati 16 %.
Cirebon 11 %. Semarang 20 %.
Di daerah Kedu yang sebelum tahun 1870 terdapat tanah
komunal sekarang sudah tidak ada lagi. Di beberapa tempat
lainnya ada tanah ladang (tegal) yang berganti-ganti diker-
jakan oleh penduduk se-desa, yang dinamakan “tegal ide-
ran”, juga dinamakan talun atau pengalang-alangan, ter-
utama ini terdapat di daerah pegunungan. Asal tanah itu
dulunya tanah G.G. (Gouvernements Ground), yang diberi-
kan kepada desa (terdapat dulu di Wangon, Purwokerto).
Tanah semacam itu kemudian banyak yang dikembalikan
kepada desa. Tanah komunal dapat dijadikan tanah yasan,
dengan persetujuan ¾ suara semua gogol se-desa, seperti
tersebut dalam Inl. Gemeente Ordonnantie sesuai dengan
Conversie besluit, firman Raja 1885. Dengan Conversie bes-
luit dimaksudkan untuk memberi jalan kepada desa mengu-
bah hak milik komunal dan dikonversikan menjadi milik
yasan. Lalu timbul soal baik buruknya hak yasan dengan
hak komunal, oleh karena itu diberikan kesempatan atas
kemauan sendiri untuk memilih jenis hak tanah yasan atau
komunal.
Di Jawa, jika terdapat tanah pekarangan dengan hak yasan,
maka di sampingnya ada sawah komunal. Tanah kering (te-
galan) dan empang umumnya juga menjadi hak yasan. Di
beberapa tempat di daerah Banyumas, adanya onderne-
ming tebu mempengaruhi juga perubahan tanah komunal.
Di daerah yang tidak ada pabrik gula, tidak ada persewaan
tanah, tanah komunal bagiannya tetap dan turun temurun,
152