Page 86 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 86
Desa Ngandagan dan Inisiatif Land Reform Lokal di Era Kepemimpinan Lurah . . .
sekitar 0,33 ha atau sekitar 230,45 ubin; sedangkan untuk
keseluruhan tanah pertanian, setiap rumahtangga rata-rata
menguasai sekitar 1,12 ha atau sekitar 786,39 ubin. Angka
rata-rata ini cukup baik untuk keadaan di pulau Jawa yang
amat padat.
Sudah barang tentu, angka rata-rata di atas adalah
gambaran “kepadatan agraris” yang bersifat statis dan
tidak bisa menunjukkan “dinamika hubungan agraris”
yang nyata-nyata terjadi. Sebagai misal, angka rata-rata itu
mengaburkan kelas-kelas penguasaan tanah yang ada di
antara petani dan hubungan yang terjadi di antara kelas-
kelas tersebut. Begitu pula, perhitungan yang semacam
itu juga mengaburkan kenyataan bahwa sebagian tanah
pertanian di desa telah dimiliki oleh orang dari luar desa
(yang jika diperhitungkan akan serta merta mengurangi
jumlah rata-ratanya). Meskipun demikian, hal yang patut
dicatat dari perhitungan di atas adalah bahwa angka-
angka itu didasarkan pada data tahun 1960. Artinya, ia
menggambarkan kondisi yang sebagiannya dapat dianggap
merupakan dampak positif dari kebijakan land reform
yang dilakukan oleh Lurah Soemotirto empat belas tahun
sebelumnya. Dipahami secara terbalik, perhitungan ini
bisa dipakai untuk membayangkan bagaimana buruknya
kondisi penguasaan tanah di desa ini sebelum land reform
dilaksanakan.
Untuk membahas lebih mendalam mengenai kebijakan
land reform ini dan dampak positif yang telah ditimbulkannya,
di bawah ini akan diuraikan terlebih dulu sosok inisiator kebijakan
land reform ini, yakni Lurah Soemotirto, dan bagaimana
57