Page 91 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 91
Land Reform Lokal A La Ngandagan
tindakan itu sebenarnya ada satu visi baru yang kemudian
ia torehkan pada situs ini, yakni transformasinya dari
semula tempat pemujaan animistis yang wingit menjadi satu
monumen yang mengejawantahkan cita-cita nasionalisme
dan kerakyatan. Di muka goa itu dia tempatkan dua buah
batu prasasti yang bertuliskan aneka slogan perjuangan dan
lambang kenegaraan, dan juga patung-patung pahlawan
nasional seperti RA. Kartini dan Diponegoro. Selain itu,
kompleks sekitar goa ini ia jadikan sebagai pusat kegiatan
kesenian, kepemudaan dan wisata. Dengan demikian, posisi
penting dari tempat ini dalam kesadaran kultural penduduk
desa tetap dipertahankan, akan tetapi makna dan visinya
telah ditransformasikan sama sekali.
Soemotirto dengan gigih juga terus memperkenalkan
gagasan-gagasan progresif yang dikenal dengan “rencana
kemakmuran”. Seperti akan dijelaskan di bawah nanti,
pelaksanaan penataan ulang penguasaan tanah adalah salah
satu hal penting yang dirintisnya sebagai bagian dari “rencana
kemakmuran” tersebut. Untuk mewujudkan rencana ini,
ia bukan hanya berani menghadapi tentangan dari para
Pituruh (Purwanto 1985: 29). Setelah menjadi Lurah, Soemotirto
selalu tampil di depan umum tanpa memakai baju, dan sehari-hari
lebih sering bertelanjang dada yang memperlihatkan dadanya yang
bidang dan berambut lebat. Konon ia hanya mandi sekali dalam
setahun, yakni hanya di bulan Suro (bulan pertama dalam kalender
Jawa-Islam). Ia juga beristri banyak, yakni Kusti, Yarus dan Wage
yang tinggal di desa Ngandagan dan seorang lagi bernama Monepi
yang tinggal di luar desa. Penampilan dan kelebihan semacam
ini, disertai dengan sikap dan tindakannya yang tegas dan berani,
makin menambah keyakinan penduduk atas kesaktian yang dimiliki
Soemotirto.
62