Page 96 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 96
Desa Ngandagan dan Inisiatif Land Reform Lokal di Era Kepemimpinan Lurah . . .
merupakan tanah komunal yang tidak boleh diperjualbelikan,
ternyata karena berbagai sebab telah jatuh ke tangan para
pemilik yang berasal dari luar desa. Wiradi mencatat bahwa
proporsi sawah yang dikuasai orang dari desa lain ini telah
mencapai lebih 70% dari keseluruhan sawah yang ada
(2009b: 161). Apabila proporsi ini dibulatkan menjadi
70% saja, maka luas sawah yang masih dikuasai warga
desa Ngandagan sendiri hanya tersisa seluas 10,88 ha atau
sekitar 7.618,80 ubin. Dan jika diperhitungkan adanya
alokasi sawah bengkok seluas 5,745 ha di antara keseluruhan
sawah di desa, maka luas sawah yang tersisa menjadi lebih
sedikit lagi, yaitu 5,139 ha atau sekitar 3.597,30 ubin. Yang
lebih parah, luasan sawah yang tinggal tersisa sedikit ini
juga terdistribusi secara tidak merata di antara warga desa
Ngandagan sendiri karena hanya dikuasai oleh segelintir
orang, sementara mayoritas penduduk menjadi petani yang
tidak memiliki tanah sama sekali.
Mengenai kondisi ketimpangan ini, dan dampak yang
ditimbulkannya terhadap kehidupan masyarakat, Wiradi
menuturkan kesaksian salah satu informannya sebagai
berikut (Ibid):
“Sebelum landreform dilaksanakan, lebih dari
70% sawah di desa dimiliki oleh orang luar dan
penduduk desa hidup dalam kesengsaraan. Akhirnya
satu-satunya cara untuk keluar dari kesulitan
adalah dengan mencuri. Pada saat itu, di mata
desa-desa lain, Ngandagan dikenal luas sebagai
sarang pimpinan garong.”
67