Page 98 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 98
Desa Ngandagan dan Inisiatif Land Reform Lokal di Era Kepemimpinan Lurah . . .
adalah 90 ubin (+ 0,13 ha) yang disisihkan dari setiap unit
sawah kulian seluas 300 ubin (+0,43 ha). Karena petani
kaya bisa memiliki lebih dari satu unit sawah kulian, maka
ia bisa memecah masing-masing unit itu untuk diberikan
kepada buruh kuli yang berbeda-beda. Petak sawah yang
dipecah untuk diberikan hak garap inilah yang kemudian
memperoleh sebutan sebagai sawah buruhan sesuai dengan
status pemegangnya (buruh kuli). Diberikan kepada buruh
kuli sebagai hak garap, sawah ini tidak diperkenankan
untuk dipindahkan hak garapnya pada orang lain, apalagi
diperjualbelikan. Buruh kuli sendiri tidak dibebani membayar
pajak tanah garapannya yang tetap ditanggung oleh kuli
baku selaku pemilik tanah tersebut. Lalu, sebagai timbal-
balik atas pemberian hak garap tersebut, buruh kuli harus
menggantikan tugas kuli baku melakukan kerja-wajib
kepada desa (kerigan) dan selain itu, juga membantu kuli
baku mengerjakan sawahnya.
Namun seiring perjalanan waktu, hubungan patronase
ini makin lama makin berkembang menjadi hubungan
yang kian eksploitatif. Pola resiprositas antara kuli baku
dan buruh kuli yang mula-mula relatif berimbang, pada
perkembangannya menjadi kian timpang sebelah. Hal ini
terjadi ketika tanah mulai langka dan peluang-peluang
mengakses tanah kian terbatas. Ketergantungan buruh
kuli kepada patronnya kemudian menjadi lebih besar lagi
karena ia tidak memiliki pilihan lain untuk mengakses
tanah yang semakin langka. Dalam posisi tawar yang lemah
semacam ini, maka kewajiban yang dibebankan kepada
buruh kuli dapat bertambah semakin banyak tanpa ia dapat
69