Page 99 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 99
Land Reform Lokal A La Ngandagan
menghindar. Misalnya saja, selain mengerjakan sawah buruh
kuli-nya, ia juga diharuskan untuk membereskan urusan
rumahtangganya sehari-hari, serta melakukan tugas-tugas
lain sesuai permintaan sang patron.
2. Gagasan Penataan Ulang Penguasaan Tanah dan
Kontroversinya
Menghadapi kondisi di atas, Soemotirto mendesakkan
dijalankannya pengaturan ulang penguasaan tanah dalam
suatu rapat desa yang diselenggarakan tak lama setelah ia
menjabat sebagai kepala desa. Inti usulan Soemotirto adalah
bagaimana agar semua rumahtangga di desa Ngandagan
dapat menguasai sebidang tanah untuk dikelola sebagai
sumber penghidupannya. Usulan Soemotirto ini memicu
perdebatan keras di antara para aparat desa.
Mengutip laporan Wiradi (2009b: 183-186), saat itu
terdapat dua kutub pandangan yang saling berlawanan. Pihak
penentang menganggap usulan Soemotirto itu melanggar
hak milik si empunya tanah dan akan menjadi kebijakan
yang tidak demokratis. Oleh karena itu, mereka bersikukuh
untuk mempertahankan sistem penguasaan tanah yang sudah
ada. Dalam kutub yang berlawanan sama sekali terdapat
,
bukan saja
v
orang-orang yang berpandangan bahwa usulan Soemotirto
xxxxxxxxxxxx xxxx xxx
itu harus segera dijalankan dan hal itu mesti diterapkan
, xxxx xxx xxx
^namun pelaksanaannya
pada keseluruhan tanah sawah yang ada di desa. Pandangan
terakhir ini sangat radikal karena berarti menghapuskan
landasan pembagian tanah menurut unit standar kulian,
sebagaimana tradisi yang dipraktikkan selama ini. Kelompok
kedua ini beralasan, apabila yang ditata ulang hanyalah
70