Page 100 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 100

Desa Ngandagan dan Inisiatif Land Reform Lokal di Era Kepemimpinan Lurah . . .


             pecahan dari sawah kulian, dan bukannya keseluruhan areal
             sawah di desa, maka distribusi tanah akan tetap tidak merata.
             Sebab, para kuli baku akan terus-menerus menguasai sawah
             yang lebih luas dibanding yang lain. Padahal, tanah-tanah
             kulian itu secara historis merupakan tanah komunal yang
             dimiliki oleh desa dan desa memiliki wewenang untuk
             mengatur penguasaannya kembali.
                 Tokoh utama yang menyuarakan pandangan pertama
             adalah Soeharsono yang dalam pemerintahan desa menjabat
             sebagai Congkok atau Wakil Lurah. Pada saat pemilihan
             lurah, ia menjadi pendukung Soemotirto meskipun
                                              26
             awalnya juga turut mencalonkan diri.  Soeharsono sangat
             berpengaruh karena merupakan petani kaya yang memiliki
             tanah luas di desa. Berbeda dari tokoh ini, pandangan kedua
             diusulkan oleh Kromomenggolo; seorang petani miskin dan
             kurang berpendidikan. Meskipun ia juga menjadi aparat
             desa dengan jabatan Polisi Desa, pengaruhnya di desa
             cukup terbatas. Oleh karena itu, meskipun cukup progresif,
             gagasannya untuk menata ulang penguasaan semua tanah
             sawah di desa tidak mendapatkan banyak dukungan.
                 Laporan Wiradi (2009b: 183) mengesankan bahwa
             gagasan untuk membagi ulang sawah buruhan supaya
             bisa menampung lebih banyak lagi petani tak bertanah
             merupakan gagasan yang disampaikan sejak awal oleh
             Soemotirto pada rapat desa. Namun, dengan memperhatikan


             26. Wiradi menyatakan (2009b: 177), Soeharsono berbalik mendukung
                Soemotirto pada saat terakhir pemilihan lurah setelah menyadari
                dirinya bakal kalah. Namun, setelah itu, ia terus menentang berbagai
                kebijakan Soemotirto meskipun ia sendiri menjabat sebagai Congkok
                dalam pemerintahan Soemotirto.

                                                              71
   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105