Page 97 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 97
Land Reform Lokal A La Ngandagan
Pilihan warga melakukan aksi-aksi kriminal ini, dengan
demikian, berakar pada kondisi krisis agraria yang parah
25
di desa Ngandagan.
Di luar pilihan “aksi-aksi kriminal” yang mencerminkan
terjadinya agrarian unrest ini, kondisi penguasaan tanah
yang amat timpang itu juga menimbulkan pengaruh
mendalam terhadap pola-pola hubungan kelas, khususnya
antara petani kaya pemilik tanah dengan para petani yang
tak bertanah. Namun bukannya membentuk hubungan
antagonistis menurut perbedaan kelas, apa yang terjadi di
desa ini adalah terbentuknya suatu pola patronase yang
kental antara petani pemilik tanah (para petani kuli baku)
dengan pihak kedua (para buruh kuli).
Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu, pola
patronase semacam itu lahir dari praktik pemecahan sawah
kulian oleh kuli baku, dan pecahan itulah yang kemudian
diberikan kepada petani yang tak bertanah sebagai hak
garap. Melalui pemberian hak garap ini, maka pihak yang
terakhir kemudian terikat secara moral maupun ekonomi
kepada pihak yang pertama dalam relasi kuli—buruh kuli.
Demikianlah, ikatan ini membentuk ikatan patronase karena
ia bersifat asimetris dan permanen menurut asas resiprositas
hak dan kewajiban, selama sang klien masih menggarap tanah
tersebut dan pemiliknya tidak memintanya kembali.
sesuai
Di desa Ngandagan, seusai kebiasaan yang berlaku di
=====
sini dan di desa-desa sekitarnya, luas hak garap tersebut
25. Hal ini mengingatkan pada bentuk-bentuk perlawanan “bandit-
bandit pedesaan” di era kolonial, seperti yang dilaporkan Suhartono
(1995).
68