Page 101 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 101
Land Reform Lokal A La Ngandagan
dua kutub di atas, tampaknya gagasan ini merupakan bentuk
kompromi atas polarisasi pandangan yang terjadi. Soemotirto
menghadapi kenyataan bahwa sawah kulian sudah dimiliki
secara pribadi dan turun temurun, dan legitimasi maupun
otoritas desa untuk menariknya kembali sudah tidak ada
lagi. Ia akan menghadapi kecaman “otoriter” dan “tidak
demokratis” jika tetap memaksakan pembagiannya. Persoalan
lain yang tidak bisa ia elakkan adalah kenyataan bahwa
hanya sekitar 30% atau 10,88 ha saja dari total sawah di desa
(seluas 36,28 ha) yang masih dimiliki penduduk Ngandagan
sendiri. Jika menarik kembali sawah kulian dari warga desa
Ngandagan sudah tidak dimungkinkan, maka terlebih lagi
melakukannya dari penduduk desa lainnya.
Apa yang kemudian Soemotirto lakukan adalah
mencoba berpaling kepada penataan ulang sawah buruhan
tanpa mengotak-atik kondisi penguasaan tanah kulian-nya.
Ia berupaya agar sawah buruhan ini, tanpa mengingkari
statusnya sebagai pecahan dari tanah kulian yang dimiliki
oleh kuli baku, dapat dikelola langsung oleh desa; dalam arti,
desalah yang menetapkan dan mengatur pendistribusiannya
kepada warga desa yang membutuhkan.
Ada dua impikasi dari opsi kebijakan semacam
ini. Pertama, desalah—dan bukannya kuli baku—yang
memutuskan siapa saja di antara warga desa Ngandagan
yang berhak mendapatkan hak garap atas sawah buruhan.
Kedua, mengingat desa yang mendistribusikan hak garap
itu, maka penerimanya hanya akan dibebani kewajiban
kepada desa tanpa ada ikatan kewajiban apapun kepada kuli
baku yang menjadi pemilik tanahnya. Dengan demikian,
72