Page 106 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 106
Desa Ngandagan dan Inisiatif Land Reform Lokal di Era Kepemimpinan Lurah . . .
kemudian masing-masing pasangan diberi sebidang tanah
buruhan.
Bukan terbatas pada penduduk asli Ngandagan saja,
sawah buruhan ini juga diberikan kepada keluarga miskin
yang datang dari luar desa. Seorang informan menuturkan
bagaimana kebijakan redistribusi sawah buruhan ini
membuat banyak penduduk miskin dari desa tetangga ingin
menjadi warga desa Ngandagan karena tergiur memperoleh
tanah garapan. Mereka pun mendapatkan sebidang sawah
buruhan dari Lurah Soemotirto setelah pindah dan menetap
28
di desa Ngandagan.
Namun, selain mereka, para petani kuli baku sendiri
yang bersedia melakukan kerja-wajib (kerigan) kepada desa
juga berhak untuk mendapatkan sepetak sawah buruhan
menurut ukuran standar yang baru, yakni seluas 45 ubin.
Ini memberi peluang buat petani kuli baku yang merasa
masih membutuhkan tanah untuk memperoleh kembali
separoh dari tanah seluas 90 ubin yang sudah mereka sisihkan
untuk sawah buruhan. Kasus ini bisa terjadi misalnya pada
petani kuli baku yang hanya menguasai satu unit tanah
kulian, padahal ia memiliki tanggungan anggota keluarga
yang cukup banyak.
Masih ada lagi satu kelompok penerima sawah buruhan
ini, yaitu para pamong desa di tingkat RK/RW dan RT
ataupun aparat desa lain yang tidak mendapatkan jatah
pembagian sawah bengkok. Untuk menghargai jerih payah
dan pengabdian yang mereka curahkan kepada desa, mereka
juga mendapatkan pembagian sawah buruhan sebagai gaji
28. Wawancara dengan Soekarto, tanggal 4 Juni 2010.
77