Page 111 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 111
Land Reform Lokal A La Ngandagan
menghendaki tetap dipertahankannya status quo. Ia
bersikukuh pada kebiasaan selama ini bahwa tanah tidak
harus dikerjakan sendiri oleh pemiliknya. “Siapapun yang
sanggup mengupah buruh, biarlah dia mengupah buruh
yang dia gunakan, dan tidak perlu ia bekerja sendiri”
(Wiradi 2009b: 167). Cara lainnya mengolah tanah tanpa
dikerjakan sendiri adalah dengan membagi-hasilkan kepada
petani lain. Untuk ini, Soeharsono mengajukan perbaikan
proporsi bagi hasil menjadi sebesar sepertiga untuk petani
penggarap (cf. Wiradi 2009b: 184); suatu indikasi bahwa
sebelumnya proporsi itu lebih kecil lagi. Dan sama seperti
kasus sebelumnya, Soemotirto tetap bersikukuh untuk
menjalankan kebijakannya ini.
Pelibatan tenaga kerja dari luar anggota rumahtangga
pada kenyataannya memang kerap tidak bisa dihindarkan.
Hal ini terutama untuk mengerjakan tahap-tahap pengolahan
sawah yang cukup berat dan membutuhkan banyak tenaga
kerja, khususnya penyiapan lahan, penanaman padi dan
pemanenan. Untuk ini Soemotirto memelopori hubungan
produksi baru, yaitu tukar menukar tenaga kerja di antara
para petani, sebagai ganti dari kelembagaan perburuhan dan
penyakapan. Mekanisme pertukaran tenaga kerja semacam
ini diatur sebagai berikut.
Pada prinsipnya, nilai tenaga kerja yang dipertukarkan
diperhitungkan menurut jumlah curahan hari yang
dihabiskan. Jadi, sebagai ilustrasi, jumlah hari kerja yang
dihabiskan oleh petani A dalam kegiatan penyiapan lahan dan
penanaman padi di sawah milik petani B harus dibayar oleh
pihak terakhir ini dengan bekerja sejumlah hari yang sama
82