Page 113 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 113
Land Reform Lokal A La Ngandagan
Namun dalam kegiatan pemanenan, pertukaran tenaga
tidak murni hanya dalam bentuk tukar menukar tenaga
kerja semata. Hal ini karena dalam pemanenan, hasil yang
diperoleh tidak hanya ditentukan oleh luasan areal panen
namun juga sangat tergantung pada ketangkasan dari
pemanennya. Oleh karena itu, dalam kegiatan pemanenan
ini mekanisme pertukaran tenaga kerja dikombinasikan
dengan bawon. Jadi, selain dilakukan kegiatan pemanenan
yang saling bertukar tempat di sawah masing-masing anggota,
para peserta pemanenan juga dibayar sebesar 1/6 dari hasil
padi yang dituai. Wiradi (2009b: 174) menjelaskan hal ini
sebagai berikut:
“... ukuran tanah mereka berlainan sehingga waktu
yang dibutuhkan untuk memanen padi juga
berbeda-beda. Lantas, bagi mereka yang memiliki
tanah yang lebih luas, bagaimana mereka harus
membayar hutang tenaganya? Pasti tidak mungkin
karena di tegalan tidak ada padi! Masalah ini
kemudian dipecahkan dengan mempertahankan
sistem bawon yang lama. Dengan demikian,
dalam kasus pemanenan, nilai dari tenaga tidak
sepenuhnya diukur berdasarkan waktu. Sehingga,
konsekuensinya, sangat mungkin bahwa hasil bersih
dari sawah yang lebih luas bisa lebih rendah daripada
sawah yang lebih sempit, dengan mengandaikan
bahwa pemilik sawah yang lebih sempit mampu
memanen lebih cepat daripada pemilik sawah yang
lebih luas.”
Mereka yang menentang sistem pertukaran tenaga
yang diperkenalkan Soemotirto ini memang masih bisa
84