Page 115 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 115
Land Reform Lokal A La Ngandagan
ini adalah Dwi Purnohardjo, namun penduduk lebih
mengenalnya dengan sebutan jabatannya, “Ndoro Siten”
(dari Asisten Wedana). Meskipun ia sudah lama meninggal,
namun tak seorang pun warga desa berani menggarap tanah
absentee yang statusnya terlantar ini. Di masa Soemotirto,
semua tanah absentee milik Ndoro Siten ini ia perintahkan
untuk dibuka supaya bisa digunakan oleh penduduk sebagai
lahan pertanian kering.
Kedua, keterbatasan tenaga kerja. Pembukaan ladang
dari lahan yang masih berhutan-semak dan berkontur
terjal membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak.
Dibutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk membersihkan
lahan dan memperbaiki kondisi tanah sampai siap untuk
ditanami. Petani yang miskin tidak memiliki biaya untuk
mengerahkan tenaga kerja sebanyak itu. Sementara petani
kaya yang memiliki banyak sawah, perhatiannya telah banyak
tersita untuk mengelola pertanian yang padat tenaga kerja
ini, sehingga hanya sedikit saja di antara mereka yang mau
melakukan investasi di lahan kering.
Ketiga, faktor kesuburan. Sebagian besar lahan kering di
desa ini merupakan tanah yang kurang subur, sebagaimana
32
tercermin dari sebutan lokasi ini: “Karang Turi”. Lagi pula,
teknologi pengolahan tanah dan budidaya pertanian yang
dikuasai penduduk saat itu juga masih terbatas. Akibatnya,
lahan ini belum banyak dimanfaatkan selain untuk tanaman
32. Secara harfiah, “karang” berarti bebatuan yang sulit menjadi media
tumbuh tanaman. Sedangkan “turi” adalah nama pohon yang bisa
bertahan hidup dalam kondisi tanah yang kurang air dan banyak
ditemukan di daerah yang tandus.
86