Page 116 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 116
Desa Ngandagan dan Inisiatif Land Reform Lokal di Era Kepemimpinan Lurah . . .
semusim yang kurang bernilai tinggi, seperti singkong dan
ubi jalar.
Kombinasi kebijakan “redistribusi” dan “ekstensifikasi”
dijalankan oleh Soemotirto dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan lahan kering ini. Kebijakan yang pertama
dilakukan dengan mendorong warga untuk membuka
ladang di lahan tidur yang ada di wilayah desa, termasuk di
tanah absentee yang dikenal warga dengan sebutan “tanah
sitenan”. Pembukaan ladang semacam ini, seperti telah
dikemukakan sebelumnya, membutuhkan curahan tenaga
kerja yang cukup banyak. Di sini langkah yang diambil oleh
Soemotirto sangatlah cerdas, yaitu menjadikan mekanisme
pertukaran tenaga sebagai strategi untuk perluasan lahan
pertanian dan sekaligus sarana redistribusi.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Melalui mekanisme
pertukaran tenaga kerja, beberapa petani dalam satu
kelompok saling bergiliran untuk menggarap lahan di sawah
masing-masing anggota. Namun, karena luas sawah di antara
mereka tidak sama, maka petani yang bersawah luas akan
berhutang jumlah hari kerja kepada petani gurem bersawah
sempit. Untuk membayar hutangnya, petani yang bersawah
luas diharuskan untuk membayar hutangnya di lahan kering,
yakni dengan membantu si petani gurem membuka ladang
baru (dan baru pada tahun-tahun berikutnya, membantu
penyiapan lahannya di ladang yang telah dibuka ini). Dengan
demikian, sembari lahan pertanian di desa bertambah
(baca: ekstensifikasi), pada saat yang sama petani gurem
juga memperoleh tanah tambahan di lahan kering sehingga
87