Page 118 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 118
Desa Ngandagan dan Inisiatif Land Reform Lokal di Era Kepemimpinan Lurah . . .
Pada masa Soemotirto, hasil panen padi untuk setiap
bidang sawah buruhan seluas 45 ubin rata-rata mencapai 2-3
34
kuintal setiap kali musim tanam. Soemotirto kemudian
membuat aturan bahwa setiap habis panen, semua pemilik
sawah diharuskan untuk menyimpan padinya ke lumbung
desa sebanyak 50 kilogram dalam bentuk gabah kering yang
masih bertangkai. Nanti pada saat mereka membutuhkan,
simpanan padinya itu dapat diminta kembali. Misalnya
ketika yang bersangkutan kehabisan padi saat menunggu
panen tiba (musim paceklik), atau ketika mereka mengalami
gagal panen.
Demikian pula, warga yang membutuhkan juga bisa
meminjam padi dari koperasi ini. Pada saat pengembaliannya
nanti, dia diharuskan membayar hutangnya dalam bentuk
padi juga. Salah seorang informan menjelaskan mekanisme
peminjaman padi ini sebagai berikut:
“Koperasi lumbung padi itu perhitungannya adalah
pocongan. Peminjaman satu pocong padi bertangkai
adalah sebanyak 10 ikat atau sama dengan 50
kilogram. Pada waktu mengembalikan, diharuskan
sebanyak 11 ikat. Kelebihan ini digunakan untuk
kas desa. Koperasi lumbung padi ini berlokasi di
35
Balai Desa dan dikelola oleh aparat desa.”
Seperti penjelasan informan tersebut, koperasi lumbung
padi ini dikelola oleh pemerintah desa. Jadi bukan dikelola
oleh satu organisasi tersendiri yang pengurusnya dipilih
oleh warga masyarakat sendiri. Di bawah kepemimpinan
34. Wawancara dengan Ngatiyah, 6 Juni 2010.
35. Wawancara dengan Suwarni, 7 Juni 2010.
89