Page 114 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 114
Desa Ngandagan dan Inisiatif Land Reform Lokal di Era Kepemimpinan Lurah . . .
menghindarinya dengan cara mengoptimalkan tenaga kerja
rumahtangganya sendiri. Dengan demikian, ia tidak perlu
berhutang tenaga kepada pihak lain sehingga tidak dituntut
membayar hutangnya dengan bekerja di lahan sawah orang
tersebut. Soeharsono, misalnya, sedapat mungkin selalu
mengerjakan tanahnya sendiri tanpa melibatkan tenaga dari
luar supaya dia tidak diharuskan mengganti hutang tenaga
dengan bekerja di sawah orang tersebut. Dia beralasan:
“Congkok kok disuruh bekerja di sawah rakyat?” Bagi dia,
hal semacam ini tidak patut sama sekali. Bagaimanapun,
penolakan dan resistensi semacam ini justru memperkuat
prinsip “land for the tillers”, bahwa petani harus mengerjakan
sawahnya sendiri (Wiradi 2009b: 167).
5. Optimalisasi Lahan Kering: Redistribusi dan
Ekstensifikasi
Seperti diperlihatkan oleh Tabel 3.1 di atas, potensi
pertanian lahan kering sangatlah besar di desa Ngandagan
karena sebagian besar wilayah desa (64,55% atau sekitar
87,52 ha) merupakan tanah tegalan/ladang. Belum lagi
kalau ditambahkan dengan tanah pekarangan yang luasnya
sekitar 11,78 ha atau 8% wilayah desa. Namun potensi
yang amat besar ini pada masa sebelum Soemotirto masih
belum banyak dimanfaatkan antara lain karena beberapa
faktor sebagai berikut.
Pertama, lebih dari 10 ha tanah di lahan kering ini
ternyata merupakan tanah absentee (guntai) karena dimiliki
oleh mantan pejabat di Kecamatan Pituruh pada masa
kolonial dulu yang tinggal di kota. Nama mantan pejabat
85