Page 123 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 123
Land Reform Lokal A La Ngandagan
Bukan hanya dikunjungi oleh warga Ngandagan
sendiri, tempat ini kemudian juga terkenal sampai ke kota
Purworejo dan kota-kota sekitar. Sampai sekarang penduduk
masih mengingat bagaimana orang dari desa-desa tetangga
maupun dari kota banyak yang mengunjungi lokasi ini
untuk berwisata alam. Para pemuda dari kota juga banyak
yang menjadikan tempat ini sebagai lokasi berkemah. Rute
para pengunjung untuk menuju lokasi Goa Pencu ini biasa
ditempuh melalui dua jalur. Rute pertama ditempuh dari
Karang Sambung menuju ke timur melewati persawahan
hingga makam di perbatasan desa, lalu berjalan menuju
utara melewati jalan setapak hingga ke Gunung Pencu.
Rute ini biasanya ditempuh oleh para pengunjung yang
datang dari arah desa Prigelan. Rute kedua ditempuh dari
Karang Turi melalui jalan lurus yang langsung menuju ke
Gunung Pencu. Di sepanjang jalan menuju goa, banyak
disajikan buah-buahan hasil produksi pertanian warga,
seperti jeruk, pepaya dan pisang untuk para pengunjung.
Juga kendi berisi air minum untuk melepas dahaga. Seringkali
pengunjung tidak perlu membayar buah-buahan itu jika
kebetulan sedang musim panen raya dan pohon berbuah
demikian banyaknya.
Dengan demikian, pembangunan kompleks Goa
Pencu ini bersifat monumental bukan sekedar dalam
arti wujud fisiknya semata, namun juga dan terutama
dalam makna pentingnya bangunan ini terhadap strategi
kebudayaan yang dijalankan Soemotirto. Secara wujud fisik
ia merupakan materialisasi budaya yang tidak semua desa
bisa memiliki kemampuan, atau bahkan sekedar imajinasi,
94