Page 125 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 125
Land Reform Lokal A La Ngandagan
Yogyakarta. Pada momen semacam itu, banyak penduduk
desa yang datang ke rumah Soemotirto dan duduk
berkerumun mengelilingi pesawat radio satu-satunya di
desa Ngandagan ini; sebuah radio transistor berukuran besar
dengan sumber energi baterai sebanyak 46 biji. Demikianlah
salah satu kenangan informan yang diwawancarai baru-baru
ini mengenai satu penggal kehidupan tokoh legendaris ini
semasa masih hidup. 37
Dalam laporan Purwanto (1985: 29) juga disiratkan
kemampuan Lurah Soemotirto dalam beretorika dan
meyakinkan para pendengarnya. Penduduk menyebutnya
sebagai kemampuan “mendongeng”. Namun, apa yang
sebenarnya dilakukan tokoh ini adalah memberikan
pendidikan kepada rakyatnya tentang gagasan-gagasan
kemajuan dan pembangunan desanya. Tentu saja, ungkapan
bahasa yang dia digunakan disesuaikan dengan alam pikir
masyarakat pedesaan pada masa itu di mana penggunaan
simbol atau perlambang masih sangat kental. Oleh karena
itulah gaya komunikasi yang dilakukan oleh tokoh ini
disebut warganya dengan istilah “dongeng”.
Bagaimanapun, dua ilustrasi tersebut menggambarkan
bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh Lurah
Soemotirto dalam mencerdaskan kehidupan rakyatnya.
Kegigihannya untuk hal ini bisa dimengerti jika diingat latar
belakangnya sebagai aktivis pergerakan pada era kolonial
melalui keterlibatannya dalam organisasi SI Merah (pecahan
Sarikat Islam yang lebih berorientasi “kiri”). Bahkan bisa
dikatakan bahwa inisiatifnya membongkar situs keramat di
37. Wawancara dengan ST. Soebroto, tanggal 2 Juni 2010.
96