Page 108 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 108
Desa Ngandagan dan Inisiatif Land Reform Lokal di Era Kepemimpinan Lurah . . .
melakukan ronda malam, atau kewajiban-kewajiban lain
yang ditentukan oleh desa. Di luar ini tidak ada lagi beban
kewajiban tambahan yang harus dilakukan oleh penerima
sawah buruhan, termasuk tidak ada kewajiban untuk bekerja
pada kuli baku selaku pemilik tanah. Hal ini karena pihak
desalah yang sekarang memberikan sawah buruhan, dan
bukannya kuli baku. Hubungan “perburuhan” yang semula
terjadi antara kuli baku dengan buruh kuli-nya sudah tidak
ada lagi. Dan meskipun istilah buruh kuli tetap dipakai
untuk menyebut penerima sawah buruhan, namun kini
pengertiannya adalah sebagai buruh desa dan bukan lagi
buruh si kuli baku.
Satu inovasi menarik yang dilakukan oleh Soemotirto
terkait kebijakan ini adalah menutup peluang bagi pemilik
sawah dari luar desa untuk melakukan kerigan. Alasannya
adalah: mengingat mereka warga dari desa lain, maka tidak
mungkin mengharuskan mereka melakukan kerja-wajib
kepada desa Ngandagan. Meskipun alasan ini tampaknya
adalah demi kepraktisan belaka, namun ia sebenarnya
memberikan perlakuan “dis-insentif” kepada pemilikan
sawah oleh orang luar desa. Mengapa? Sebab, mereka ini tetap
diwajibkan membayar pajak secara penuh dan sekaligus juga
dituntut menyisihkan 90 ubin dari tanah kulian-nya untuk
sawah buruhan. Sementara itu, peluang untuk memperoleh
sepetak sawah buruhan (45 ubin menurut ukuran yang baru)
telah ditutup buat mereka karena “mekanisme imbal-balik”
untuk itu, yakni melakukan kerigan kepada desa, tidak
diperbolehkan. Melalui penerapan dis-insentif semacam
ini, maka pemilik tanah dari luar desa kemudian terdorong
79