Page 107 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 107
Land Reform Lokal A La Ngandagan
29
mereka selaku pamong desa. Karena pembagian sawah
buruhan ini merupakan gaji, maka sebagaimana halnya
ketentuan sawah bengkok, sawah tersebut juga harus
dikembalikan kepada desa jika penerimanya sudah tidak
menjabat lagi sebagai aparat desa.
Ketiga, dari segi kewajiban yang harus dijalankan
penerima sawah buruhan. Mengingat sawah buruhan
adalah bagian yang menyatu dengan tanah kulian-nya si
petani kuli baku, maka pajak tanahnya juga tetap menyatu
dengan petak asalnya. Menjadi kewajiban si petani kuli
baku ini untuk membayarkan kewajiban pajaknya kepada
pemerintah. Sementara penerima sawah buruhan tidak
dikenai kewajiban tersebut sama sekali mengingat ia hanya
memiliki hak garapan atas tanah tersebut. Dalam hal ini,
penerima sawah buruhan hanya dikenai larangan keras
untuk tidak mengalihkan hak garapannya itu kepada orang
lain, baik dengan cara penjualan, penyewaan maupun
penggadaiannya.
Apa yang wajib dilakukan oleh penerima sawah
buruhan ini adalah melakukan kerigan atau kerja-wajib
untuk desa, misalnya memperbaiki jalan dan saluran irigasi,
29. Tidak diketahui bagaimana kebijakan Soemotirto dalam menetapkan
jatah sawah buruhan untuk aparat desa yang tidak memperoleh
sawah bengkok. Saat ini sawah buruhan diberikan kepada sebelas
orang aparat desa, dengan jabatan dan jatah pembagian sbb: dua
orang Ketua Rukun Warga (RW) masing-masing seluas 45 ubin,
seorang Kepala Hansip seluas 45 ubin, dan dua orang Blandong
masing-masing 90 ubin (dua unit sawah buruhan). Blandong adalah
warga yang berkeahlian pertukangan dan banyak dibutuhkan desa
untuk berbagai kegiatan pembangunan desa.
78