Page 104 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 104
Desa Ngandagan dan Inisiatif Land Reform Lokal di Era Kepemimpinan Lurah . . .
berbagai aspek yang tercakup dalam mekanisme redistribusi
sawah buruhan ini.
Pertama, dari segi obyek-nya, yakni sawah buruhan itu
sendiri. Ketentuan mengenai alokasi sawah buruhan ini
diberlakukan untuk semua tanah kulian yang ada di desa,
baik yang dikuasai oleh penduduk Ngandagan sendiri
maupun penduduk dari luar desa. Dengan demikian, warga
dari desa lain yang memiliki sawah di desa Ngandagan juga
harus bersedia menyisihkan sebagian tanah kulian-nya
untuk dialokasikan sebagai sawah buruhan. Dengan
pengalokasian ini, maka petani kuli baku selanjutnya
dibebaskan dari segala bentuk kerja-wajib (kerigan) kepada
desa. Meski demikian, dalam hal kewajiban pajak, mereka
tetap diharuskan membayar pajak sebesar ukuran tanah
kulian menurut standar awalnya (sebelum disisihkan untuk
sawah buruhan).
Mengenai luas tanah yang harus dialokasikan untuk
sawah buruhan, kebiasaan yang sudah dipraktikkan di
Ngandagan selama ini tetap dipertahankan, yakni 90
ubin (0,128 ha) untuk setiap unit standar tanah kulian
(300 ubin atau 0,44 ha). Dengan melanjutkan kebiasaan
yang sudah ada ini, maka penentangan dari pemilik tanah
yang berasal dari desa lain dapat diminimalisir. Apabila
keseluruhan sawah di desa dibagi dengan ukuran standar
satu unit tanah kulian ini, maka akan didapatkan jumlah
lebih kurang 85 unit tanah kulian. Sebelum pembaruan
dilakukan oleh Lurah Soemotirto, maksimal sebanyak ini
pula jumlah unit sawah buruhan yang dapat dialokasikan,
yang masing-masingnya seluas 90 ubin (padahal tidak
75