Page 105 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 105
Land Reform Lokal A La Ngandagan
semua petani kuli baku menyisihkan sebagian tanahnya
untuk sawah buruhan). Dengan demikian, sebelum masa
Soemotirto, paling banyak hanya sekitar 85 rumahtangga
saja yang bisa menjadi buruh kuli dan dapat menggarap
sawah buruhan.
Kedua, dari segi subyek penerimanya. Soemotirto
mendapati bahwa jumlah petani miskin yang tak bertanah
di desanya demikian banyak, sementara kemungkinan
mendapatkan tambahan alokasi untuk sawah buruhan sudah
tidak dimungkinkan lagi. Oleh karena itu, Soemotirto lantas
memecah ukuran standar unit sawah buruhan ini dari yang
semula 90 ubin menjadi 45 ubin (sekitar 0,064 ha). Dengan
pemecahan ini maka jumlah penerima potensialnya dapat
digandakan menjadi dua kali lipat, yakni dari paling banyak
85 orang menjadi sekitar 170 orang. Tentu saja dengan luas
tanah garapan yang lebih sempit untuk masing-masing
penggarapnya—suatu bentuk “berbagi kesejahteraan” untuk
membalikkan istilah terkenal Geertz.
Penerima potensial sawah buruhan ini adalah para petani
yang tidak bertanah dari desa Ngandagan sendiri. Mereka
inilah yang menjadi kelompok prioritas. Hal ini memang
sesuai dengan komitmen yang dijanjikan Soemotirto saat
mencalonkan diri sebagai lurah, yakni akan memberikan
akses tanah pada seluruh warga desa khususnya keluarga
miskin. Memang, salah satu persyaratan untuk bisa menerima
sawah buruhan adalah sudah berkeluarga. Untuk memenuhi
ketentuan ini, pada tahun 1950-an Soemotirto pernah
menikahkan secara massal 20 pasangan suami-istri untuk
76