Page 138 - Prosiding Agraria
P. 138
Alih Fungsi Lahan dan Implikasinya Terhadap Pengendalian Lahan Sawah 123
Dalam Perspektif Reforma Agraria Di Kabupaten Sleman
A. Pendahuluan
Menurut FAO (2005) lahan adalah salah satu sumber daya alam utama di negara-negara
Asia, dengan pertanian tetap menjadi pengguna lahan terbesar di kawasan tersebut. Lahan
pertanian memiliki peran dan fungsi strategis bagi masyarakat yang bercorak agraris dimana
sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup pada sektor pertanian (Mulyaqin dkk.,
2022). Namun, seiring berjalannya waktu, kebutuhan terhadap lahan terus meningkat karena
pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan perkembangan perkotaan (Phuc
dkk.,2014; Prayitno dkk.,2021; Zhang dkk., 2021; Zhou dkk.,2020) menyebabkan persaingan
yang ketat dalam penggunaan tanah, biasanya antara sektor pertanian dan non-pertanian,
sehingga memicu alih fungsi lahan pertanian (Rondhi dkk.,2018). Semakin tinggi pertumbuhan
di suatu wilayah terutama pada daerah perkotaan, maka kebutuhan (demand) akan lahan juga
semakin meningkat. Perkembangan yang tidak terkendali ini akan mendorong alih fungsi
lahan dari sektor pertanian ke sektor non pertanian yang berdampak negatif terhadap upaya
untuk menjaga swasembada pangan dan pembangunan berkelanjutan (Prihatin, 2015).
Kabupaten Sleman dikenal memiliki lahan sawah yang luas, yang berperan penting dalam
memenuhi kebutuhan pangan dan sumber penghidupan bagi masyarakat setempat. Namun,
alih fungsi lahan di Kabupaten Sleman telah menjadi perhatian serius dalam beberapa tahun
terakhir. berdasarkan data dari Bappeda Provinsi DIY dalam rentang waktu 2018-2022 seluas
569,81 Ha lahan mengalami alih fungsi. Faktor-faktor seperti urbanisasi, pertumbuhan
penduduk, perkembangan industri, pembangunan infrastruktur, ekspansi lahan pertanian,
deforestasi, kegiatan pertambangan, kebakaran hutan, industrialisasi, dan kebijakan ekologi
yang tidak mendukung telah menjadi pendorong utama perubahan ini (Osaman, 2024; Wu
dkk., 2023; Manley dkk., 2022; Zhang dkk., 2022). Perubahan lahan juga dapat diartikan
sebagai perubahan terhadap penggunaan lain yang disebabkan oleh faktor-faktor yang secara
garis besar mencakup kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin
banyak dan meningkatnya tuntutan akan kualitas hidup yang lebih baik (Lambin dkk., 2003;
Zhang dkk., 2022).
Alih fungsi lahan yang berlangsung di Kabupaten Sleman memiliki dampak yang kompleks,
termasuk masalah lingkungan, ketahanan pangan, serta perubahan sosial dan ekonomi di
wilayah tersebut (Firianti, 2020). Alih fungsi lahan Kabupaten Sleman telah menyasar pada
lahan pertanian yang tentunya berdampak pada ketahanan pangan Kabupaten Sleman. Alih
fungsi lahan pertanian merupakan faktor utama yang mendorong perubahan lingkungan
global serta berdampak signifikan terhadap ketahanan pangan dan lingkungan (Ghasemnejad
dkk.,2024). Untuk mengontrol AFL Pertanian, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-
undang No. 41 tahun 2009 untuk mengontrol konversi lahan pertanian. Undang-undang ini
menerapkan Pasal 20, 21, 27 (2), 28A, 28C, dan 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Klasifikasi dan
Peralihan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B/SFAL) memiliki dua tujuan utama.
Yang pertama adalah untuk mencegah konversi lahan pertanian dengan mengembangkan