Page 140 - Prosiding Agraria
P. 140
Alih Fungsi Lahan dan Implikasinya Terhadap Pengendalian Lahan Sawah 125
Dalam Perspektif Reforma Agraria Di Kabupaten Sleman
C. Hasil dan Pembahasan
Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Sleman
Petani di Indonesia juga tidak mampu melindungi lahannya karena tekanan sosial dan
ekonomi sehingga konversi lahan pertanian tidak dapat dihindari. Proses alih fungsi lahan
pertanian ke penggunaan non-pertanian pada dasarnya didorong oleh motif ekonomi, di
mana penggunaan non-pertanian memiliki nilai sewa tanah yang lebih tinggi. Di Pulau Jawa,
menurut data dari Departemen Pertanian, konversi lahan ini telah masuk dalam kategori
“tinggi” sesuai dengan “Skenario Cipanas”, meskipun data dari BPN masih menggolongkannya
dalam kategori sedang (Ashari, 2003). Di Kabupaten Sleman alih fungsi lahan pertanian telah
menjadi trend perubahan penggunaan lahan yang ada di Kabupaten Sleman. Tren alih fungsi
lahan pertanian menjadi non pertanian khususnya perumahan dengan sebagian besar alih
fungsi lahan pertanian berada di wilayah perkotaan. Pada wilayah perkotaan Kabupaten
Sleman yang meliputi Kapanewon Berbah, Depok, Gamping, Godean, Kalasan, Mlati, Ngaglik,
Ngemplak, Seyegan dan Sleman alih fungsi lahan pertanian mencapai 848,56 Ha. Berikut
merupakan peta tutupan lahan di Kabupaten Sleman pada tahun 2016 dan 2023 dengan hasil
uji akurasi menggunakan confusion matrix pada peta tutupan lahan tahun 2016 sebesar 86,12
%, sedangkan pada peta tutupan lahan tahun 2023 sebesar 88,50%.
Gambar 1. Peta Tutupan Lahan Kabupaten Sleman Tahun 2016
Sumber: Diolah Peneliti, 2024
Peta tutupan lahan Kabupaten Sleman tahun 2016 pada Gambar 1menunjukkan persebaran
kelas tutupan lahan seperti kelas daerah terbangun, sawah, hutan, lahan terbuka, dan badan
air. Dalam peta tersebut terlihat bahwa kelas tutupan lahan berupa hutan mendominasi pada
Sleman bagian utara. Hal ini dikarenakan pada saat melakukan interpretasi citra, terlihat
bahwa wilayah Sleman bagian utara memiliki kerapatan vegetasi yang cukup besar. Pada peta