Page 42 - Prosiding Agraria
P. 42
Penerapan Sistem Adat untuk Reforma Agraria di Sekitar Kawasan Hutan: 27
Studi Kasus Nagari Pagadih, Sumatera Barat
C.1.2 Pembentukan Peraturan Nagari Pagadih Tentang Pengelolaan Lahan Berbasis Kaum
Secara kelembagaan, LPHN Pagadih mengalami vakum sejak izin PS diterbitkan
KLHK pada tahun 2017. Kevakuman ini disebabkan oleh adanya perbedaan definisi antara
pemberian hak kelola oleh negara (melalui skema Hutan Nagari) dengan sistem adat yang
berlaku di Pagadih terkait hak–hak seseorang atau kelompok dalam mengakses sumberdaya
lahan. Menurut adat, seseorang atau kelompok yang berasal dari salah satu kaum hanya
boleh mengelola ulayat kaumnya sendiri. Dengan demikian, meski peraturan Perhutanan
Sosial (Pemerintah Republik Indonesia, 2021) memberi ruang bagi LPHN untuk mengambil
keputusan atas pengelolaan dan pemanfaatan lahan pada Hutan Nagari Pagadih seluas 768
Ha, tetapi pada prakteknya perencanaan hingga pengambilan keputusan pengelolaannya
berada pada penghulu (mamak kepalo kaum), terutama pemegang hak ulayat kaum yang
berada dalam area izin Hutan Nagari atau bahkan beririsan. Dinamika tersebut mendorong
pentingnya regulasi yang disepakati bersama guna mendapatkan titik temu antara aturan
perundang-undangan dengan aturan adat istiadat di Nagari Pagadih, terutama aturan terkait
pemanfaatan sumberdaya lahan dan pengelolaan Hutan Nagari. Pemerintah Nagari Pagadih
melalui pendampingan WRI Indonesia berinisiatif menjembatani peraturan Perhutanan
Sosial dengan aturan adat. Pemerintah Nagari Pagadih mengeluarkan Peraturan Nagari
Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pengendalian dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Hutan
Berbasis Kaum. Inti dari Peraturan Nagari ini adalah bagaimana pengelolaan lahan dikelola
dengan asas musyawarah mufakat, asas perlindungan, dan asas pemanfaatan sebagaimana
yang tertuang pada pasal 7 (ayat 1-3). Lebih rinci dalam asas pengelolaan dijabarkan sebagai
berikut: a. Asas musyawarah mufakat yakni dalam hal pengelolaan kawasan hutan nagari harus
berdasarkan musyawarah mufakat di Nagari dengan memperhatikan peraturan perundang–
undangan yang berlaku dan unsur adat istiadat setempat. b. Asas perlindungan yakni dalam
hal pengelolaan kawasan hutan nagari harus mengandung unsur perlindungan terhadap
kawasan hutan nagari dan kawasan penyangga hutan nagari (istilah untuk area berhutan
dan atau wilayah tidak berhutan yang masuk dalam wilayah administrasi Nagari dan berada
di areal sekitar batas-batas Kawasan Hutan Nagari dan terbagi menjadi pusako tinggi dan
pusako rendah). c. Asas pemanfaatan yakni kawasan hutan nagari dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama oleh masyarakat sesuai
dengan peruntukkannya.